Jumat, 19 Januari 2018

Ketika Partai-partai Kesulitan Cari Jago di Pilkada

Ada sesuatu yang lucu dalam perhelatan Pilkada Serentak 2018 ini. Sesuatu yang menjadi fokus pemberitaan kasus-kasus dalam penetapan calon gubernur, bupati atau walikota yang akan diusung oleh partai.

Yaitu minimnya stok kader partai partai bahkan terjadi pada partai besar untuk dipilih menjadi calon pemimpin daerah. Yang tampak di pemberitaan justru tampilnya beberapa calon dari yang diusung beberapa partai adalah figur yang tidak masuk dalam radar mastyarakat bahkan terkesan dadakan dan ujug-ujug.

Beberapa daerah dialami oleh beberapa partai yang tampak kesulitan mencari figur pimpinan daerah. Sebut saja misalnya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

Di Jabar, pasangan cagub dan cawagub baik partai pendukung pemerintah (PDIP, Golkar dan partai oposisi pemerintah (Gerindra, PKS dan PAN) sama-sama kesulitan mendapatkan figur dalam kader partainya. Mereka akhirnya tampak asal comot memilih jagoannya. Meski mereka bilang telah lama menggadang-gadang tetapi masyarakat baru mengetahui figur yang diusung partai besar itu.

Yang tampak kelihatan adalah Gerindra mencalonkan Sudrajat dari kalangan militer dan PDIP pun mencalonkan Anton Charyan dan TB Hasanuddin juga semua dari militer. Masyarakat umum memandang dua partai besar dengan pemilih kebingungan menentukan calon akibat kehabisan stok kader yang berprestasi.

Keadaan ini menjadi catatan tersendiri sebagaimana terjadi demikian itu, adalah bagaimana sistem pengkaderan belum maksimal kecuali dadakan. Kader yang setia bahkan beerprestasi sudah tidak dilirik sebagai aset partai, tetapi figur diluar kader dapat masuk dengan leluasa untuk tampil berlaga di pilkada.

Demikian Pilkada seperti sandiwara satu babak, bagaimana pemirsa terbawa alur sandiwara itu, tergantung apresiasi dari para pemirsanya, penonton pilkada rakyat Indonesia.


Empat Pasangan Cagub-Cawagub Jabar, Berpotensi Menang

Pertarungan Pilkada Jawa Barat dengan 4 pasangan cagub-cawagub bakal sepadan bersaing ketat. Peta kekuatan masing-masing pasangan tampak merata dan serba memiliki kemungkinan menang atau menyesali kekalahan.

UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berbunyi:

Pasal 109 ayat 1 yang berbunyi:

Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.

Jadi puncak acara Pilkada Serentak 2018 adalah 27 Juni mendatang saat pencoblosan. Yang mendapat suara terbanyak, dialah yang menjadi pemenang.

Undang-undang terbaru yang menyatakan Pilkada 1 putaran itu membuat kesempatan pilkada hanya 1 kali tampa babak fainal. Oleh karena itu kubu masing-masing pasangan akan bekerja keras merebut pemilik hak pilih di Jawa Barat.

Bukan tidak mungkin pemenang dari 4 pasangan cagub-cawagub itu adalah pasangan yang hanya 30 % suara diperoleh dalam pilkada itu, juka yang lainnya memperoleh dibawah 25 %.

UU yang tampak menghemat anggaran ini menjadi tidak berlaku lagi istilah 50% plus 1 suara itu menjadi pemenang di Jawa Barat, karena kemungkinan terlalu kecil untuk memperoleh itu jika 4 pasangan.

Tampaknya kacamata publik dapat diterka siapa pasangan memperoleh suara terbanyak kelak, namun semuanya belum pasti sebab semua memiliki khas menang.

Pertarungan pun akan tampak melalui pertarungan informasi dan media termasuk isu-isu dan saling tindih pendapat survai.



Sejauh Mana Peran Artis dalam Rebut Simpati di kampanye Pilkada

Bak tahun rezeki, bagi artis nasional dan daerah dalam perhelatan Pilkada. Bagaimanatidak tiap pasangan cagub-cawagub atau cabub-cawabub berebut artis untuk bertarung dalam kampanyenya.

Bagi artis itu sendiri ajang pilkada merupakan pengakuan masyarakat yang otomatis memelihara dan memantapkan popularitasnya, bahkan keuntungannya dapat honor sekaligus bertatap muka dengan masyarakat gratis.

Menjadi Juru Kampanye (Jurkam) atau pengisi hiburan kampanye atau apa saja sang artis menjadi daya tarik masyarakat untuk datang atau menyaksikan. Tidak semata-mata untuk mendengarkan program-program calon gubernur tepai lebih dari itu melihat penampilan artis secara langsung.

Jadilah artis menjadi rebutan para peserta pilkada. Di Jawa barat sendiri merupakan gudangnya artis Indonesia. Dari berbagai jenis seni seperti bintang film, artis sinetron, penyanyi sampai biduan dangdut. Mereka kebanjiran order team sukses pasangan calon gubernur atau bupati.

Namun tentu saja artis pun dipilih tingkat kecocokan dengan 'warna partai itu sendiri, bahkan ada yang sampai identik dengan warna partai tertentu dikarenakan kedekatan mereka dengan warna partainya.

Beberapa artis yang memiliki pengaruh luas di masyarakat memiliki peran pentuing dalam kampanye pilkada. Ia tidak saja sebagai alat untuk mengumpulkan masyarakat saat kampanye tetapi juga mampu mengajak masyarakat untuk memilih pada pasangan calon gubernur atau bupati yang dimana ia menjadi jurkamnya.

Tampaknya beberapa partai telah memiliki beberapa artis yang telah lama menjadi kader Partai. Sebut saja di Partai Amanat Nasional (PAN) diantaranya   Marissa Haque, Ikang Fawzi, Hengky Kurniawan, Lucky Hamzah, dan Raffi Ahmad, di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ada penyanyi Pasha Ungu. Di Partai Hanura ada Renny Djayusman, Iis Sugiyanto, di Partai Demokrat ada Venna Melinda, Inggrid Kansil dan Nurul Qomar.

Selanjutnya di  Partai Golkar ada Nurul Arifin dan Tantowi Yahya. Di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), sebelumnya sudah ada Jamal Mirdad dan Rachel Maryam di Gerindra. Dan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Edo Kondologit, Nico Siahaan, Sonny Tulung, dan Yessy Gusman.

Kini beberapa partai tengah mendekati beberapa artis untuk kepentingan kampanye dalam pilkada, akankah peran artis berpenhgaruh dalam perolehan suara mereka, kita lihat nanti. Tampaknya perhelatan pilkada akan lebih menarik dengan hadirnya artis-artis nasional kita.

Selasa, 09 Januari 2018

Gaji dan Tunjangan Pejabat di DKI

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 193 Tahun 2015. Aturan ini menjelaskan soal tunjangan kinerja daerah (TKD) yang besarnya wah, melebihi penghasilan pegawai pemerintah provinsi lain di Tanah Air dan Kementrian. 

Contohnya besaran tunjangan untuk level paling rendah yakni grade 2, tunjangannya bisa mencapai Rp 4.860.000/bulan. Dan tertinggi untuk jabatan Sekretaris Daerah dengan grade 17c besaran tunjangannya mencapai Rp 127.710.000/bulan.

Dari perhitungan itu, maka gaji plus tunjangan yang diterima PNS Pemda DKI Jakarta paling rendah Rp 6.346.500/bulan dan tertinggi adalah Rp 133.332.300/bulan.

Peraturan yang dibuat Ahok itu membuat penghasilan Lurah menjadi  Rp 33.730.000, naik sekitar Rp 20 juta dari tahun lalu yang hanya Rp 13 juta. Dengan rincian gaji pokok Rp 2.082.000, tunjangan jabatan Rp 1.480.000, TKD Statis Rp 13.085.000, TKD Dinamis Rp 13.085.000, dan tunjangan transportasi Rp 4.000.000.

Untuk  Camat sebesar  Rp 44.284.000 juga naik sekitar Rp 20 juta dari tahun 2014. Dengan rincian gaji pokok Rp 3.064.000, tunjangan jabatan Rp 1.260.000, TKD Statis Rp 19.008.000, TKD Dinamis Rp 19.008.000, dan tunjangan transportasi Rp 6.500.000.

Para wali kota gaji pokok nya Rp 3.542.000, tunjangan jabatan Rp 3.250.000, TKD Statis Rp 29.925.000, TKD Dinamis Rp 29.925.000, dan tunjangan transportasi sebesar Rp 9.000.000. Sehingga total take home pay yang diterima Rp 75.642.000.

Untuk Kepala Dinas Rp 75.642.000 dengan rincian gaji pokok Rp 3.542.000, tunjangan jabatan Rp 3.250.000, TKD Statis Rp 29.925.000, TKD Dinamis Rp 29.925.000 dan tunjangan transportasi sebesar Rp 9.000.000.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 193 Tahun 2015 yang diteken Ahok itu belum dicabut oleh Gubernur Anies Baswedan. Walhasil penghasilan wali kota dan kepala dinas yang merupakan pejabat eselon 2, tetap sebesar Rp 75 juta;  serta deputi gubernur dan sekretaris daerah (pejabat eselon 1)  sebanyak Rp  110-120 juta. 

Simak juga: Sri Mulyani Mengkritik, Sandiaga Uno Sebut Gubernur Sebelumnya

Boleh jadi perumus kebijakan di Balai Kota DKI Jakarta menilai bahwa  biaya perjalanan dinas yang layak untuk pejabat eselon 1 dan 2 adalah Rp 1,5 juta per orang per hari. Bukannya Rp 480 ribu per orang per hari, seperti pejabat di kementrian. Toh APBD Jakarta sebesar Rp 60 triliun. 

Akankah Militer Mampu Bertarung dalam Pilkada?

Agak sulit menempatkan militer dalam pilkada gubernur, mungkin belum saatnya masyarakat membutuhkan secara kebutuhan umum. Ada beberapa kendala yang harus disingkirkan selain paradigma dan trauma masyarakat. Tetapi tentu saja lain ladang lain belalang, militer berprestasi pun macam-macam karakter bahkan ada yang menjadi idola masyarakat. Sebagai contoh ketika seorang pimpinan militer membuat pernyataan keberpihakan masyarakat, kadang menjadi keberpihakan yang dilapisi kebanggaan masyarakat pada sosok militer yang diharapkan itu.

Masyarakat memandang setelah reformasi ini, ada sesuatu yang tersirat bahwa militer ditempatkan pada profesionalnya sendiri saat ini. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan dalam memimpin daerah atau menjadi pimpinan nasional. Pada daerah-daerah tertentu merindukan pemimpin berlatar militer. Dan bukan mustahil Indonesia pada saatnya nanti butuh pimpinan dari latar belakang militer.

Ada beberapa kepala daerah yang berlatar militer dan berhasil sukses memimpin daerah justru setelah reformasi. Masyarakat mendukung penuh karena kejujuran dan ketegasannya. Masyarakat di desa  membutuhkan ketenangan dalam kesehariannya, jaminan keamanan , katrena anggapan pemimpin militer lebih menjamin keamanan warga.

Akankah militer mampu bertarung dalam pilkada tentu bagaimana mengemas untuk meraih simpati masyarakat daerah itu.

Minggu, 07 Januari 2018

Bersikukuhnya Romi, Ambisinya Dedi, Blondernya PDI, Bingungnya Ridwan Kamil, Percayadirinya Prabowo

Mengerucut sudah 4 pasangan Cagub dan Cawagub Jabar pada 7 Januari 2018 jelang esok harinya waktu pendaftaran pasangan cagub cawagub itu di KPU untuk memulai pertarungan baru. Hilang sudah desas desus, presdiksi pasangan, serta prediksi pengamat yang keblinger menghadapi dinamika 'mencari pasangan pilgub di Jawa Barat. Ibarat tukang ojek yang putar-puter cari penumpang, atau pasangan muda-mudi yang cari suami sitri akhirnya singah juga di gubuk dimana akan dibangun kekuatan agar mampu sukses meraih apa direbutkan sebagai gubenur Jawa Barat periode 2019-2023 itu.



Empat pasangan Cagub dan Cawagub itu adalah Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang diusung partai Demokrat dan Golkar dengan kekuatan 39 kursi dari hasil pileg lalu yaitu Demokrat 12 kursi dan Golkar 17 kursi. Pasangan Ridwan kamil dan UU Ruzhanul Ulum yang diusung Partai PPP, KPB, Nasdem dan Hanura dengan kekuatan 24 kuri dari pileg lalu yaitu PPP 9 kursi, KPB 7 kursi, Nasdem 5 kusri dan Hanura 3 kursi, Pasangan Sudrajat -Ahmad Syaikhu dengan kekuatan 23 dari hasil pileg lalu yaitu Gerinda 11 kursi dan PKS 12 kursi. Sementara partai yang belum menentukan pilihannya yaitu PAN dengan memiliki 4 kursi pada pileh lalu. Pasangan yang terakhir adalah pasangan TB Hasanuddin dan Anton Charliyan yang diusung PDIP sendiri dengan 20 kuris hasil Pileg lalu. Belum diperoleh kepastian PAN akan bergabung pada pasangan yang mana.



Hasil empat pasangan cagub dan cawagub Jabar itu berkan peran-peran menentukan elit-elit politik yang penuh dinamika dan perkembangan yang menegangkan.

Tak lepas hasil itu berkat bersikukuhnya Romi (Muhammad Romahurmuziy) sang ketua PPP yang ngotot agar kadernya UU Ruzhanul Ulum, Bupati Tasikmalaya untuk menjadi pendamping Ridwan Kamil yang membuat Ridwan Kamil bingung menetukan sang wakil mengingat partai koalisi pengusung dirinya juga mengajukan calon seperti PKB dengan mengajukian Maman Imanul Haq, dan Nasdem dengan Saan Mustofa, Kebimbangan Ridwan Kamil juga yang membuat mendatangi PDIP untuk mendapatkan dukungan dari Megawati.

Sementara Dedi Mulyadi yang sempat tak diusung Golkar dengan menggeser Daniel Mutaqien yang telah diusung Golkar, padahal Daniel Mutaqien memiliki suara besar di Pantura Jabar itu. Dedi Mulyadi mendapat peruntungan kasus Setya Novanto sehingga pergantian ketua DPP Golkar berimbas pergantian rekomendasi. Dedi pun akhirnya urung menjadi cagub dan hanya diusung menjadi Cawagub seperti Daniel Mutaqien sebelumnya.

Sementara Prabowo bersama PKS yang sempat mengusung Deddy Mizwar akhirnya memilih Sudrajat dengan cawagub dari PKS Ahmad Syaikhu.

PDI yang selama ini lebih memilih menunggu perkembangan akhirnya blunder juga untuk menentukan calonnya hingga kehadiran Ridwan Kamil yang sempat diisukan dicalonkan dari PDIP akhirnya batal dan lebih memilih kader internalnya takni TB Hasanudin yang ketua DPD PDIP Jabar dan cawagubnya Anton Charlyan.

Perkembangan jelang pendaftaran yang mulai akan dibuka oleh KPU pada besok 8 Januari akankah ada perubahan lagi, bisa mungkin. Politik itu dinamis seperti adonan martabak.
(Rg Bagus Warsono 07-01-18)

Sabtu, 06 Januari 2018

Surat Suara Tempo Doeloe


Ketika Partai Rebutan Kepala Daerah Berprestasi

Oleh : Rg Bagus Warsono
Penerima tanda kehormatan Satya Lencana Karya Bakti Praja Nugraha
1. Gubernur Kalimantan Timur periode 2008-2018 Awang Faroek Ishak
Hasil gambar


2. Bupati Karang Anyar Provinsi Jawa Tengah Priode 2013-2018 Juliyatmono
Hasil gambar


3. Bupati Banyuwangi Provinsi Jawa Timur periode 2010-2021 Abdullah Azwar Anas
Hasil gambar


4. Bupati Probolinggo Provinsi Jawa Timur periode 2013-2018 Puput Tantriana Sari
Hasil gambar


5. Bupati Kuningan Provinsi Jawa Barat periode 2013-2016 Alm Utje Choeriah.
Hasil gambar


6. Bupati Pati Provinsi Jawa Tengah periode 2012-2016 Haryanto
Hasil gambar untuk Bupati Pati Haryanto


7. Wali Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan 2014-2019 Mohammad Ramdhan Pomanto
Hasil gambar


8. Wali Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo 2014-2019 Marten Taha
Gambar terkait


9. Wali Kota Bandung 2013-2018 Muhammad Ridwan Kamil


10. Wali Kota Banjar Provinsi Jawa Barat periode 2013-2018 Ade Uu Sukaesih
Hasil gambar untuk Ade Uu Sukaesih

11. Wali Kota Bontang Provinsi Kalimantan Timur 2011-2016 Adi Darma
Hasil gambar untuk Adi Darma bontang

12. Wali Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat 2013-2018 Muhammad Muras
Hasil gambar untuk Walikota Sukabumi Mohamad Muraz




Adapun 27 kepala daerah, baik bupati, wali kota maupun gubernur se-Indonesia yang mendapatkan anugerah KDI 2017 antara lain:
Kategori pelayanan masyarakat:
1. Herwin Yatim, Bupati Banggai
2. Agus Ambo Djiwa, Bupati Mamuju Utara
3. JR Saragih, Bupati Simalungun
4. Prana Putra Sohe, Wali Kota Lubuk Linggau
5. Arief Rachdiono Wismansyah, Wali Kota Tangerang
6. Airin Rahmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan
7. Longki Janggola, Gubernur Sulawesi Tengah
Kategori Sosial Budaya:
1. OK Arya Zulkarnain, Bupati Batubara
2. Natsir, Bupati Demak
3. Mathius Awoitauw, Bupati Jayapura
4. Anwar Hafid, Bupati Morowali
5. Irsyad Yusuf, Bupati Pasuruan
6. Taufan Pawe, Wali Kota Parepare
Kategori Insfrastruktur dan Pembangunan:
1. Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi
2. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur
Kategori Ekonomi dan Investasi:
1. Sambari Halim Radianto, Bupati Gresik
2. Danny Missy, Bupati Halmahera Barat
3. Soekirman, Bupati Serdang Bedagai
4. Ni Putu Eka Wiryastuti, Bupati Tabanan
5. Moch Anton, Wali Kota Malang
6. Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat
7. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan
8. Moh Ramdhan Pomanto, Wali Kota Makassar
Kategori Lingkungan Hidup:
1. Mohamad Idris, Wali Kota Depok
2. Adam Rahayan, Wali Kota Tual
3. Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung
Kategori Tata Kelola Pemerintahan:
1. Moh Ramdhan Pomanto, Wali Kota Makassar
Penghargaan Kepala Daerah Inovatif 2017 merupakan salah satu komitmen MNC Group sebagai media terbesar se-Asia Tenggara, untuk membantu mewujudkan pemerintahan yang baik dan membantu rakyat untuk mencapai kemakmuran.

H. Dedi Mulyadi, S.H.

H. Dedi Mulyadi, S.H. (lahir di Sukasari, Subang, 11 April 1971; umur 46 tahun) adalah Bupati Purwakarta petahana. Ia dilantik pada tanggal 13 Maret 2008. Sebelum jadi Bupati, Dedi Mulyadi menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Purwakarta dan menjadi Wakil Bupati Purwakarta pada periode (2003-2008) bersama Lily Hambali Hasan. Pada Pilkada 2013, Dedi Mulyadi terpilih kembali menjadi Bupati Purwakarta untuk periode 2013-2018 berpasangan dengan Dadan Koswara.

Pada 23 April 2016, Dedi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Periode 2016 - 2020 menggantikan Irianto MS Syafiuddin atau biasa yang dikenal dengan nama Yance.

Dedi Mulyadi lahir di Kampung Sukadaya, Desa Sukasari, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Dia merupakan putra bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana merupakan pensiunan Tentara Prajurit Kader sejak usia 28 tahun akibat sakit yang diderita sebagai dampak racun mata-mata kolonial. Ibunya, Karsiti yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah adalah aktivis Palang Merah Indonesia. Dia sering membantu ibunya mengembala domba dan berladang.

Dedi menikah dengan Hj. Anne Ratna Mustika (Mantan Mojang Purwakarta yang juga keponakan dari Drs. H. Bunyamin Dudih, S.H., Bupati Purwakarta Periode 1993-2003). Dedi dikaruniai 2 orang anak yaitu Maulana Akbar Ahmad Habibie dan Yudistira Manunggaling Rahmaning Hurip.

Dedi Mulyadi terjun ke dunia politik dimulai ketika ia terpilih menjadi Anggota DPRD Purwakarta pada Periode 1999-2004 dan menjabat sebagai Ketua Komisi E. Akan tetapi pada tahun 2003, ia terpilih sebagai Wakil Bupati Purwakarta Periode 2003-2008 berpasangan dengan Lily Hambali Hasan. Pada tahun 2008, ia mencalonkan diri sebagai Bupati Purwakarta Periode 2008-2013 berpasangan dengan Dudung B. Supardi, dan menjadi Bupati Purwakarta pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Pada periode selanjutnya, ia terpilih kembali menjadi Bupati Purwakarta Periode 2013-2018 berpasangan dengan Dadan Koswara. Pada 23 April 2016, Dedi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Periode 2016 - 2020 menggantikan Irianto MS Syafiuddin atau biasa yang dikenal dengan nama Yance.

Jabatan yg pernah diduduki Dedi Mulyadi adalah Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta, Senat Mahasiswa STH Purnawarman Purwakarta (1994), Wakil Ketua DPC FSPSI (1997), Sekretaris PP SPTSK KSPSI (1998), Wakil Ketua GM FKPPI Tahun (2002), Ketua PC Pemuda Muslimin Indonesia (2002), Sekretaris KAHMI Purwakarta (2002), Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Purwakarta (2005-2015), Wakil Bupati Purwakarta (2003-2008) dan Ketua DPC Partai Golkar Purwakarta (2004-2007) Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat (2016-2019).

Dedi Mulyadi menempuh masa SD hingga SMA di kota kelahirannya, Subang. Mulai dari SD Subakti (1984), SMP Kalijati (1987), dan SMA Negeri Purwadadi (1990). Selanjutnya pendidikan tingginya diselesaikan di Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman Purwakarta dengan meraih gelar Sarjana Hukum (1999).

Dedi Mulyadi membuat kebijakan dengan larangan berpacaran atau bertamu di atas jam 9 malam. Bagi pelanggar, atau masyarakat yang tidak patuh terhadap aturan tersebut, akan dihukum secara adat. Misalnya dengan diusir dari desanya dalam beberapa bulan, atau membayar denda dengan nominal yang ditentukan. Selain itu, akan dipasang juga kamera pengintai CCTV di setiap perbatasan desa. Sehingga peraturan tersebut dapat terealisasi dengan baik.

Kepala Desa Cilandak, Dadan Jakaria sudah mendahului dengan cara membuat portal di semua jalan dan gang desa. Jika ada tamu yang waktu kunjung pacar, KTP, kartu mahasiswa, dan pelajarnya ditahan. Jika sudah lewat pukul 21.00, pihak lelaki diusir.

Menurut Dedi, realisasi kebijakan ini nantinya di setiap desa atau kelurahan yang ada di Purwakarta, akan dibentuk kelompok yang bernama Badega Lembur bertugas melakukan pengawasan. Kebijakan itu akan digulirkan paling lambat pada bulan Oktober 2015. Menurutnya, aturan ini dilakukan sebagai antisipasi untuk menjaga akhlak para remaja, sehingga bisa terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.[3] Juga memungkinkan untuk menindak dengan mengkawinkan paksa.

Kebijakan lainnya yang cukup menimbulkan kontroversi di kalangan pengusaha kecil adalah larangan usaha "online game" dan PlayStation. Semua warnet (warung internet) yang ada di Purwakarta dilarang menyediakan layanan "online game", dengan alasan berdampak pada sifat dan karakter anak/pelajar yang cenderung berperilaku negatif, namun tetap dapat dilakukan di rumah.

Rabu, 03 Januari 2018

Pilkada, Rebutkan 40 % Masa mengambang di Jabar

Hasil Pemilihan Anggota Legeslatif pada 2014 lalu di Jawa Barat dengan perolehan merata di setiap partai peserta pemilu legeslatif (tertinggi 20%) menandakan bahwa Masa mengambang di pilkada jabar 2018 ini dalam kisaran 40 % . Hasil ini dikuatkan dengan bukti bahwa keadaan politik di Jabar sallu berubah-ubah. Pada Pilkada jabar 2013 lalu, Calon Patahana yang tidak diunggulkan bisa menang di pilkada. Masa mengambang di Jawa Barat menjadi alasan begitu cepat berubahnya pasangan-pasangan calon gubernur dari beberapa koalisi sehingga menjadi bertambahnya masa mengambang di Jawa Barat. Grafik dinamika yang berubah-ubah itu membuat Jawa Barat menjadi arena pertarungan politik yang ramai saat ini.
Proses pendewasaan politik pada masyarakat di Jawa Barat belum mengalami kemajuan yang berarti. Tampak citranya masih menempatkan figur ketimbang gagasan. Pemilihan figur yang meliputi sosoh fisik, sifat (jujur, bijaksana, tegas, berwibawa dll), kemapuan,kepemimpinan, serta kepopulairan masih mendominasi pilihan masyarakat. Mereka ini adalah masa mengambang yang masih memiliki perilaku politik yang tidak mandiri (kurang stabil) dan gampang dipengaruhi. Masa mengambang yang banyak inilah yang akan menjadi rebutan partai-partai politik di Jawa Barat.
Masa yang menggantung cukup besar ini membuat banyak spekulasi, dugaan yang belum mendapat kenyataan, dari berbagai koalisi pilkada yang saat ini di Jawa Barat. Beberapa kecenderungan itu muncul manakala terjadi dinamika cepat politik di Jawa Barat. Beberapa proses tampak jelas terlihat seperti: sulitnya Ridwan Kamil mencari pasangan Cawabub, Terlihat pemaksaan' PPP untuk memasangkan cawabnya UU Ruzhanul Ulum mendampingi Ridwan Kamil, Ditariknya dukungan Golkar untuk Ridwan Kamil dan berganti Dedi Mulyadi, Batalnya dukungan PKS untuk Deddy Mizwar, Munculnya Sudrajat sebacai cabub dari Gerindra dan lain-lain yang semuanya belum dapat kepastian sampai dengan pendaftaran Cagub dan Cawagub di KPU pada 8-10 Januari 2018 nanti.(Rg Bagus Warsono, penyair tinggal di Indramayu)

Pasar Baru Jatibarang Indramayu Bukti Pembangunan di Kab. Indramayu

Selintas tokoh Jabar menurut Pandangan Rg Bagus Warsono: (nomor bukan peringkat bobot)

1. Deddy Mizwar
Tokoh ini telah dikenal luas di seluruh Jawa Barat. Perannya sebagai Wakil Gubernur (2014-2019) yang mebidangi pendidikan dan budaya menjadikan lebih dikenal kalangan seniman dari berbagai unsur seni. Deddy Mizwar yang juga aktor film terkenal dan melejit lewat film-film laga (Seperti :Naga Bonar) telah dikenal baik oleh warga jawa Barat mereka yang berusia 40 th ke atas. Dalam menjalani tugasnya sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat memiliki pemberitaan positif dengan sentimen positif masyarakat yang sangat tinggi.
2. Ridwan Kamil
Tokoh ini mulai dikenal luas semenjak 2015 dimana Bandung menjadi tuan rumah, Peringatan Konferensi asia Afika 2015. Namanya mulai menanjak saat itu atas keberhasilan penyelenggaraan event besar internasional itu dengan sukses. Dari tahun itulah tokoh ini mulai dikenal oleh nasional dengan berbagai kesuksesan lain atas kota yang dipimpinnya itu. Penyelenggaraan event-event internasuonal membawa harum tokoh ini. Terakhir Bandung sukses dalam penyelenggaraan Karnaval Kemerdekaan pada Agustus 2017 dan pada puncak Perayaan Hari Santri Nasional, pada Oktober 2017. Keberhasilan-keberhasilan itu membuat tokoh ini mendapat sentimen positif tidak hanya dari masyarakat Jawa Barat tetapi juga Nasional.
3. Dedi Mulyadi
Tokoh ini dikenal luas di Jawa barat mulai 2016 semenjak terpilih sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat 2016-2021. kapasitas tambahan selainsebagai Bupati Purwakarta ini membuat ia dikenal oleh masyarakat diluar kabupaten Purwakarta. Tokoh ini berhasil membangun daerahnya dengan sentimen positif dari masyarakat Jawa Barat terutama dalam memandang pembangunan yang luar biasa di kabupaten Purwakarta. Tokoh ini pun mendapat penghargaan sebagai Teladan demokrasi sehingga tidak hanya anggota Partai Golkar mengenalnya di Jawa barat tetapi juga oleh partai politik lain.

Pilgub Jabar tak lepas dari Persaingan Jokowi - Prabowo Oleh : Rg Bagus Warsono,

Jawa barat begitu penting bagi kubu Pemerintah dan Oposisi dalam hal ini Jokowi-Kalla dan Prabowo. Jawa Barat dengan jumlah hak pilih terbanyak (23, 8 jt pemilih /KPU) merupakan penentu suara pemilihan Presiden dan kemenangan pemilu Legeslatif 2019. Maka wajar apabila Pilkada Jabar menjadi perhatian serius bagi dua kubu itu, untuk dapat mendudukan orangnya sebagai Gubernur di propinsi penentu Pilpres tersebut.
Keseriusan dua kubu tersebut dapam pemenangan Pilkada jabar menjadikan arah politik Pilkada jabar akhir-akhir ini menjadi tak menentu dan sulit ditebak. Sebab peran-peran pucuk pimpinan partai sangat menentukan dalam pemilihan cagub dan cawagub Jabar yang akan berlaga pada Juni 2018 tersebut.
Dinamika yang diperankan tokoh-tokoh DPD-DPD Partai di Jawa barat hanya merupakan peluru-peluru sebagai penilaian awal bagi para elit di DPP partai-partai peserta pelkada di Jabar itu. Kejadiannya sungguh membuat publik Jawa Barat sempat dibuat bingung. Hal demikian dikarenakan berbagai kebijakan yang telah diluncurkan dan bahkan dideklarasikan belum berarti hal yang sudah pasti. Akhirnya masyarakat memahami bahwa kepastian pasangan-pasangan Cagub dan Cawagub bagi yang diusung oleh partai peserta Pilkada Jabar itu apabila telah mendaftar di KPU yang akan dimulai pada 8-10 Januari 2018 yang akan datang.
Pasal 5 Ayat 2 PKPU itu menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik bisa mencalonkan jika punya paling sedikit 20 persen kursi di DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah di pileg terakhir.
Masyarakat dapat menilai partai-partai yang harus mengadakan koalisi agar dapat mengusung calonnya. Besar kecilnya perolehan kursi DPRD pada pileg terakhir membuat besar kecilnya peran yang diberikan pada partai-partai itu menjelang pendaftaran pasangan cagub dan cawagub. Seperti diperlihatkan Partai Nasdem dan Partai Hanura dengan perolehan suara kurang dari cukup di DPRD Jawa Barat ini, partai tersebut libih pada mendukung ketimbang mengusung calon sendiri.
Hak perogatif ketua DPP partai-partai di Indonesia yang memegang nama nama calon Gubernur dan calon wakil gubernur sekan membelenggu demokrasi yang justru dilakukan oleh partai itu sendiri. Bagaimana tidak keinginan DPD atau Cabang di daerah terkadang tak direspon oleh Ketua DPP yang memgang hak perogatif itu.
Dari semua itu apalagi perkembangan politik terkini, di tingkat elit partai sama-sama memiliki kepentingan yang lebih besar. Partai-partai pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar otomatis memperhatikan Joko Widodo yang pada 2019 akan mencalonkan kembali. Sedang partai-partai oposisi perti Gerindra, PAN dan PKS memperhatikan komando Prabowo Subianto yang juga adalah Ketua Umum Partai Gerindra.
Pilkada Jabar tampaknya seperti drama atau sandiwara para elit politik, peran-peran DPD hanyalah lauk tambahan di meja makan seperti krupuk, sambel lalab dan buah-buahan.
(Rg Bagus Warsono, penyair tinggal di Indramayu)

The and

The and