Minggu, 05 April 2015

Menelusuri Jejak Asal Wiralodra, Betulkah dari Bagelen? , (6)


Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri (pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni.


Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber-bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri.



Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”.


Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.



Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.


Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

(1) di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);

(2) Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi Bagelen dan mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

(3) Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya;

(4) Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga = 52 buah, Yoni = 13, stupa/Budhis = 2, Megalith = 22, Guci = 4, Arca = 38, Lumpang = 24, Candi Batu atau berkasnya = 8, Umpak Batu = 16, Prasasti = 3, Batu Bata = 8, temuan lain = 17, dan Umpak Masjid = 20.


Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram.


Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.


Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: ada sebuah pulau bernama Yawadwipa negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. Raja pertamanya : Raja Sanna. Setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna Raja Gunung, Tuan yang Datang dari Gunung. Atau, Tuan yang Datang dari Kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.


Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (Cerita Parahiyangan).



Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906).


Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab Cerita Parahiyangan dan Babad Tanah Jawi. Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka i Medang i bhumi Mataram i bermakna Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.


Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya. Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah.

Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.


Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya?


Untuk menutup keuangan akibat perang di Eropa maupun Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang menyebabkan devisit anggaran sebesar 20 juta gulden, kemudian dilaksanakan suatu kebijakan yang disebut “cultuure stelsel” atau “politik tanam paksa” yang disertai pajak tanah “landrent”. Sebagai daerah yang subur tanah Bagelen dijadikan sebagai salah satu basis perkebunan pelaksanaan sistem tanam paksa. Berbagai tanaman komoditi yang laku di pasaran Eropa di haruskan ditanam oleh para petani di tanah Bagelen, jenis tanaman yang diharuskan antara lain; kopi, teh, tembakau, indigo (nila/tom), dan kayu manis serta tebu. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan dan petani masih dikenalkan pajak penjualan 2/3 dari hasil panen kopi.


Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch diharapkan akan memberikan keuntungan besar dari daerah-daerah jajahan di seluruh pulau Jawa. Untuk itu Van den Bosch mengeluarkan perintah yang berlaku untuk seluruh penduduk pribumi.Semenjak diterapkan tanam paksa di wilayah Bagelen, daerah subur yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu daerah kantong padi dengan cepat berubah menjadi daerah pusat komoditi tanaman ekspor. Penanaman nila di Bagelen sangat memberatkan penduduk, sebab para petani harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk bekerja.


Di tahun 1849/1850 seperti yang dikutip oleh Bram Peper dari Geschiedenis van het Cultuursteldsel mengungkapkan bahwa di Bagelen kehilangan 95.000 jiwa. Tahun 1889 Resien Bagelen menyebutkan adanya imigrasi “kuli jawa” ke pantai timur Sumatera, yang berasal dari afdeling Purworejo dan Kutoarjo.

Tanah Bagelen sebagai salah satu kawasan perkebunan penghasil komoditi eksport antara lain; kopi, teh, kayu manis dan nila (indigo). Kayumanis pada tahun 1842 di Bagelen sebanyak 2.821,5 pon. Pelaksanaan penanaman kayu manis terhadap penduduk yang tidak memiliki lahan mereka mendapat upah sekitar f 4,20 sampai f 5/ bulan, sedangkan mandor mendapat upah sebesar f 8,40. Pada tahun 1855 di Ambal dan Purworejo terdapat 284 KK penggarap pada 16 perkebunan dengan 787.788 batang tanaman dengan hasil lebih dari 29.000 pon. Bagelen merupakan daerah penghasil indigo terbaik di pulau jawa.


Tahun 1857 areal perkebunannya seluas 8,435,625 bau dengan hasil 305.934 per bau 36,26 pon Amsterdam. Harga per pon Amsterdam f 1,89 total f 458,901. Indigo dari Bagelen di eksport ke Belanda, Perancis, Inggris, Amerika, Denmark dan Swedia. Tanaman teh terdapat di distrik Wonosobo, menurut data 1856 dari Kultur Verslag Residen Bagelen tanaman ini terdapat di daerah Reco, Kledung, Purwosari, Tegalsari, Kadu Pareng, Bedakah dan Jero. Di distrik Kalialam di lokasi Menjer, Tamparan, Kreo, Serang, Gembaga, Telogo dan Tambi. Untuk distrik Sapuran terdapat di desa Tanjungsari, Semilir, Sunter dan Sundi. Jumlah tanaman tersebut di tiga distrik 4.885.000 batang seluas 740 bau.


Penanaman kopi secara besar-besaran dimulai tahun 1834 di Purworejo dan Ledok. Hasil kopi selama 5 tahun 1854-1858 meliputi 258.233,24 pikul atau setiap tahun sedikitnya menghasilkan kopi 29.924,56 pikul paling rendah dan tertinggi 63.843,47 pikul dengan melibatkan 153.894 keluarga sebagai tenaga kerja. Menurut James R Rush, hingga tahun 1861 sistem tanam paksa di Pulau Jawa sudah menghasilkan kekayaan yang mampu untuk membayar hutang perang Belanda bahkan lebih sehingga digunakan untuk membiayai pembangunan rel-rel kereta api.


Perdagangan Opium di Tanah Bagelen


Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai wujud politik ekonomi kolonial mendapat perlawanan sengit didaerah Bagelen. Sementara di sisi lain sebagai kawasan baru yang masuk dalam kekuasaan Belanda, kemudian muncul perdagangan opium. Opium merupakan komoditi monopoli Pemerintah Kolonial Belanda, yang sudah ada sejak abad ke-17 pada zaman VOC. Pada saat itu opium sudah menjadi komoditi penting di tanah Jawa sebab ada di bawah berbagai perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi.


Perdagangan opium Belanda di Jawa ada sesudah perjanjian 1677, menurut perhitungan J.C Baud yang dikutip James R Rush dari tahun 1619-1799 setiap tahun resminya, VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke pulau Jawa, namun jumlah opium ilegal yang diselundupkan diduga jauh lebih besar.


Menurut Peter Carey tahun 1820 di sekitar Yogyakarta terdapat 372 tempat terpisah yang mempunyai lisensi untuk menjual opium. Sedangkan untuk memperoleh dana yang besar Belanda bekerjasama dengan kelompok elite tertentu memberi hak monopoli untuk memproduksi dan memperdagangkan opium pada tempat-tempat tertentu. Para bandar opium telah memanfaatkan adanya perkembangan penduduk pedesaan yang menyebar di perkotaan dan tinggal di dekat obyek ekonomi seperti pabrik, jalan kereta api dan perkebunan. Mereka datang sebagai kaum urban akibat dari transformasi ekonomi kolonial di Bagelen, Banyumas, Madiun dan Kediri sebagai daerah baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.


Penjualan opium ilegal yang marak dinilai sebagai bagian dari kebijakanan konvensional pegawai kolonial Belanda. Residen Bagelen Christian Castens yang bertugas 1863-1864 ketika melakukan inspeksi mendadak pada gudang lokal bandar opium di tanah Bagelen, ternyata menemukan jumlah opium tiga kali lipat. Pejabat setempat menyatakan bahwa opium tersebut legal, namun tidak dapat menunjukkan barang bukti. Sedangkan komisi penyelidik yang ditugaskan, menurut Castens telah disuap oleh bandar opium sebesar 10.000 gulden. Sehingga kelebihan opium tersebut dapat diselundupkan ke Banyumas.



Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo


Purworejo atau yang dikenal dahulu sebagai Bagelen berdiri sejak 5 Oktober 901 Masehi. Bagelen dahulu merupakan mancanegara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keduanya saling berkaitan dalam sejarah Babad Diponegoro dan babad Nagari Purworejo, Babad Tanah Jawa dan Kitab Negara Kertagama. Menurut Penemuan Prasasti, Sejarah berdirinya Purworejo, berdasarkan adanya Prasasti “ Kayu Ara Hiwang” atau dikenal sebagai Parasasti “Boro Tengah” Yaitu prasasti tentang peresmian Tanah Perdikan (sima), Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di bawah pohon / tanaman Kayu Sono di dukuh Boro Tengah, tepi sungai Bogowonto atau sungai Watukura, sekarang masuk wilayah kecamatan Banyuurip.

Prasasti batu Andesit yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno/lama sebanyak 21 baris. Sejak tahun 1890 prasasti ini telah dipindahkan dan disimpan di Museum Nasional Jakarta Jl Merdeka Barat, dengan inventaris No 78. Prasasti Kayu Ara Hiwang menyebutkan tahun Saka 823, bulan Asuji, hari kelima bulan Paro Petang, Vurukung Senin (wuku) Margasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi. Saat itu Raka dari Vanua Poh, Dyah Sala (Mala), putra dari Sang Ratu Bajra yang tinggal di Parivutan, telah menandai Desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang, menjadi tanah perdikan. Daerah tersebut dibebaskan dari segala pajak, kesemuanya itu untuk memelihara tempat suci Parahyangan. Selain itu, pangeran dari Parivutan mensucikan kejelekan.


Dalam Parasasti tersebut diungkapkan bahwa pembebasan Kayu Ara Hiwang dari kewajiban membayar pajak dan menjadi tanah perdikan , meliputi segala yang dimiliki desa , meliputi : katika, guha, katagan, gaga. Juga disebutkan, Rakaryan dari Vatu Tihang, Pu Sanggrama Surandhara, penduduk Gulak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada voring sebanyak satu swarna. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan para pejabat dari berbagai tempat antara lain dari Paranggang, Padamuan, Mantyasih, Medang, Pupur, Taji, Watu Tihang Kasugihan, Pakambingan, Varu Ranu, Lampuran, Watu Hyang, Alas Galu, Pakalangkyang, Pagar Vsi, Sru Ayun, Sumumilak, dan Kalungan.


Para Pejabat yang hadir tersebut menerima Pasek-pasek berupa pakaian berwarna dan emas seberat satu swarga, satu masa enam masa dan dua belas masa, atau perak satu kati atau satu karsa dua masa.


Sedangkan sampai detik ini tempat-tempat yang disebutkan dalam parasasti tersebut diantara masih ada dan masih bisa dikenali, antara lain :
Mentyasih = Magelang,
Vatu Tihang = S(e)olo Tiang (daerah Loano),
Taji = Prambanan,
Kalughan = Kalongan Loano
dan sebagainya.


Dilihat dari tahun dikeluarkannya prasasti tersebut, dipastikan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa kekuasaan, Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, seorang maharaja terbesar pada masa Mataram Kuno. Dan mempunyai wilayah kekuasaan dari Jawa Tengah, Jawa Timur sampai ke Bali. Dyah Balitung dikenal sebagai Pangeran yang memiliki wilayah Palungguhan di lembah sungai Watukura, sungai besar yang mengalir dari Gunung Sumbing sampai kelautan Hindia, pantai selatan Jawa Tengah.


Menurut Van Der Meulen SJ, pendiri Fakultas Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, wilayah Bagelen berbentuk segitiga, tempat yang sekarang dikenal bernama Ledok, merupakan pojok paling utara dari Bagelen. Basisnya Pantai Selatan, puncaknya Gurung perahu (Dieng) Sungai yang terutama adalah Bogowonto atau Watukura. Van der Muelen bahkan berpendapat, apa yang dinamakan Holing dalam Tiongkok Kuno seharusnya dibaca Halin, yakni singkatan dari Baghahalin (bagelen), kerajaan yang berlokasi di lembah sungai Bogowonto atau sungai Watukura. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam Babad Tanah Jawi, kerajaan yang semula diperintah Khulun.


Pendapat Van der Meulen tersebut yang menggali isi Kitab Cerita Parahyangan dan Babad Tanah Jawi tersebut, menurut Dr N. Daljoeni merupakan sumbangan yang telah mengobori pronto sejarah yang gelap abad ke-5 sampai dengan abad ke-7. Sekalipun dalam prassti Kayu Ara Hiwang secara implisit disebutkan nama Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, namun dalam prasasti tersebut disebutkan, nama “Sang Ratu Bajra”. Tokoh ini diduga keras adalah adalah, Rakryan Mahamantri / Maha Patih Hino, Sri Daksottama Bahunbajra Pratipaksaya atau Daksa orang kedua setelah Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Jadi sebutan “Sang Ratu“ layak diberikan kepadanya karena dalam sejarah perkembangan berikutnya, Daksa adik ipar Balitung naik tahta menjadi raja menggantikan Balitung.


Di sisi lain dalam prasasti “Sipater” parasasti batu yang ditemukan di wuwungan (bagaian dalam atap yg tertinggi) Masjid Jenar Kidul tahun 1981 tidak jauh dari lokasi Boro Tengah mengungkapkan pembuatan sebuah “dawuhan” atau tanggul / dam untuk mengairi persawahan. Dalam prasasti tersebut disebutkan nama seorang Samgat dari Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah (anak wanua) Pariwutan dalam wilayah (watek) Ghaluh. Selain itu dalam prasasti “ Tulanana’” tahun 823 Saka.


Dyah Balitung Watukura juga disebut sebagai Rakai Galuh, penguasa daerah Galuh. Dengan demikian pendapat Profesor Purbatjaraka, bahwa Dyah Balitung Watukura adalah seorang Pangeran berasal dari Kedu Selatan atau Bagelen adalah benar.


Menurut Prof. Purbatjaraka, nama “Pagelen” atau “Bagelen” itu berasal dari kata “Pagalihan” yaitu daerah yang masuk wilayah Galuh.. Kata “Galih” menurut menurut pendapatnya adalah bentuk karama dari kata Galuh. Contohnya kata Pangguh = Panggih, Lungguh=Linggih, Rungkuh=Ringkih. Dengan demikian, Pegaluhan, Pegalihan, Pagelen, dan Bagelen memang merupakan wilayah kekuasaan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura yang ditandai dengan sebuah aliran Sungai Besar, Sungai Watukura yang kemudian dikenal dengan nama sungai Bogowonto, karena dikedua tepinya banyak Begawan berada. Dalam sejarah berikutnya, daerah Watukura masih dikenang. Ini terbukti dalam naskah Negara Kertagama, Raja Hayam Wuruk masih menyebut nama tersebut.


Sedangkan dalam masa kerajaan Demak, Bagelen merupakan suatu propinsi yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Para Kenthol Bagelen memegang peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Mataram Islam. Sutawijaya yang kemudian bergelar Sebagai Panembahan Senapati telah mengingat persaudaran dengan para Kenthol Bagelen. Para Kenthol itu pula merupakan pasukan andalan dalam menumpas pemberontaka-pemberontakan maupun dalam operasi operasi militer, termasuk dalam pertempuran melawan VOC di Batavia.

Kesatuan dan kesetiaan orang-orang Bagelen mulai digoyah, tatkala di Kerajaan Mataram timbul pertikaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti , 13 Februari 1755, atas prakarsa VOC Belanda, wilayah Bagelen (Purworejo) dibagi dalam dua bagian sebagian masuk wilayah Surakarta dan sebagian lagi masuk wilayah Yogyakarta. Namun pembagian tersebut tidak jelas batas-batasnya?. Tumpang puruk, campur baur seperti rujak hingga abad ke-19 ketika pecah perang Diponegoro.



Pembangunan Jalan di Purworejo Masa Belanda



Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang tanggal 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, banyak gangguan yang terjadi diwilayah sekitar kawasan wilayah Purworejo, terutama di perbatasan Magelang. Peristiwa ini dianggap membahayakan pemulihan ekonomi maupun keamanan Pemerintahan Hindia Belanda, maka akhirnya dibangun jalan yang hingga kini masih bisa digunakan.


Hal ini dilakukan untuk menghindari wilayah yang menjadi basis pengikut Pangeran Diponegoro yang masih setia bergerilya. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu.


Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki. Pembangunan sarana jalan baru menurut seorang sejarah adalah akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Jalur ke arah utara ini dengan rute di luar daerah pengaruh Pangeran Diponegoro dari Loano melintasi bukit Cacaban, Bener, Kalijambe, Margoyoso, Salaman terus ke Magelang. Jalan baru alteratif ini dilaksanakan dengan wajib kerja umum oleh petani tanpa imbalan upah. Alasannya karena, jalan tersebut untuk kepentingan rakyat sendiri yang sudah sejak dahulu dipergunakan oleh para kuli angkut barang dari daerah Bagelen ke Semarang atau sebaliknya.asi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun perkebunan.


Berdasarkan prasasti tugu peringatan pembangunan jalan di kecamatan Bener, dinyatakan bahwa jalur jalan baru yang diperingati dengan tugu tersebut dibangun atas perintah penguasa Karesidenan Bagelen Jonkh J.G o.s von Schmidt Auf altenstadh dan R.de Fillietas Bousqet dibantu oleh Raden Adipati Cokronagoro, Regent (Bupati) Purworejo tahun 1845-1850. Pembangunan jalan raya baru disisi lain dilaksanakan selama 3 tahun, dari tahun 1848-1850 dengan mengerahkan petani pada waktu luang dan dibiayai sebesar f 4.000 untuk pembelian peralatan dan dana untuk kenduri atau selamatan.


Dengan adanya jalan baru ini, maka lalu lintas jalan raya dan angkutan barang dialihkan, yang semula lewat jalan tradisional dilewatkan jalan baru yang dianggap lebih aman dari gangguan kraman (pemberontak). Sedangkan jalan tradisional yang ada sengaja dibiarkan terbengkalai dan tersisihkan. Selain itu untuk wilayah barat Purworejo dibangun jalan tepatnya melalui Kedungkebo hingga Gombong dan diteruskan ke Cilacap. Jalan baru tersebut sangat penting bagi mobilitas militer dalam mengamankan politik pemerintah dan memperlancar angkutan komoditi ekspor yang akan diangkut kapal melalui pelabuhan Cilacap, pelabuhan Semarang untuk di ekspor ke pasar Eropa.


Tahun 1830 Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan nama Perang Diponegoro telah usai sebab Pangeran Diponegoro telah ditangkap di Magelang 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, namun para pengikutnya masih melakukan perlawanan, dengan dukungan para petani yang merasa tertindas dengan diberlakukannya sistem tanam paksa. Salah satu daerah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah daerah selatan tanah Bagelen.


Sementara di Kutoarjo tahun 1847 muncul pemberontakan yang disusul tahun-tahun berikutnya akibat pemaksaan tanaman indigo (nila). Perlawanan terhadap kolonialisme dan sistem ekonomi liberal tersebut dilakukan secara gerilya yang dinamakan “kraman”, Kraman adalah suatu perang gerilya dengan melakukan penyerangan terhadap kereta gerobak yang melintasi jalan dan kemudian setelah berhasil para penyerang menghilang. Selanjutnya perlawanan tersebut oleh Belanda di sebut “brandal atau “gerombiolan kecu”. Perlawanan tersebut berlanjut kadang-kadang dilakukan secara perseorangan sehingga kemudian sikap perlawanan tersebut merupakan salah satu tolak ukur keberanian laki-laki.



The and

The and