Minggu, 12 April 2015

Wakil Presiden Yusuf Kala, PLTU Sumuradem Sangat Menguntungkan Negara

Wakil Presiden Yusuf Kalla akan menjelaskan terkait pembebacan lahan PLTU Sumuradem sebagai saksi. Kesediaan Wakil Presiden ini dikarenakan beliau tahu bahwa PLTU Sumuradem Indramayu sangat menguntungkan negara.

"Saya akan menjelaskan semuanya terkait pembebasan lahan itu nanti di pengadilan," kata Kalla, di Istana Wapres, Jumat, 10 April 2015. "Karena kasusnya itu terkait juga dengan keputusan pemerintah. Maka saya harus memberikan kesaksian."

Menurut Kalla proses pembebasan lahan pada saat itu sudah disertai Keputusan Presiden. "Itu justru sangat menguntungkan negara, pembebasan lahan yang dilakukan agar pasokan listrik bisa segera disalurkan," ujarnya. "Kerugian negara akibat pembebasan lahan paling hanya 0,3 persen ketimbang keuntungan negera dari proyek listrik yang mencapai Rp 10 triliun

Sabtu, 11 April 2015

Segera Terbit Laskar Wiradesa , Cergam Anak , Perjuangan Rakyat Indramayu karya Rg Bagus Warsono

Kisah perjuangan rakyat Indramayu akan dibukukan dalam Cerita bergambar  Anak , Perjuangan Rakyat Indramayu karya Rg Bagus Warsono.

Minggu, 05 April 2015

Peta P Jawa

Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (7)

Aryo Cokronagoro I
Setelah menjabat sebagai Bupati Purworejo yang dikukuhkan lewat Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda 22 Agustus 1831, Raden Adipati Aryo Cokronagoro I langsung membuat strategi pembangunan daerahnya. Kebijakan pertamanya adalah membangun masjid besar karena melihat mayoritas masyarakat sekitarnya Muslim.

Kebijakan itu tampak sekali meniru langkah Nabi Muhammad SAW. Ketika hijrah dan mendirikan Negara Madinah, Rasulullah langsung mendirikan Masjid Nabawi dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Sebagai jantung Kota Madinah saat itu, Masjid Nabawi digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer dan bahkan untuk mengadakan perjanjian kerja sama.

Masjid Agung Purworejo dibangun berlandaskan konsep masjid jami ala Rasulullah. Bangunan masjid raya itu berdiri megah di atas tanah seluas 8.825 meter persegi. Yang mengejutkan, tanah yang menjadi tempat berdirinya masjid itu milik RAA Cokronagoro I. Luas bangunan masjid terbagi dalam bangunan utama seluas 441 meter persegi. Terdapat pula bangunan sayap kiri-kanan seluas 126 meter persegi dan bangunan serambi seluas 525 meter persegi. Tiang utama (soko guru) dan tiang penyangga (soko rowo) masjid ini menggunakan kayu jati pendhowo. Tinggi soko guru-nya puluhan meter dengan diameter 200 sentimeter.

Desain Masjid Jami Purworejo atau Masjid Darul Muttaqin berlandaskan arsitektur Jawa, serupa dengan Masjid Agung Keraton Surakarta. Dari arsitekturnya, Darul Muttaqin sangat berkarakter Islam kuno dengan bentuk Tajug Lowahan Lambang Teplok (disebut dalam Serat Kalang, buku arsitektur Jawa). Perlengkapan lain seperti makara, mihrab, kalom, soko guru maupun soko rowo semakin memperkuat arsitektur masjid ini menjadi Jawa Islami.

Atap Darul Muttaqin bertumpang tiga. Atap pertama disebut panilih (mengandung makna syariah), atap kedua disebut penangkup (bermakna thoriqoh), sementara atap ketiga disebut brunjung (bermakna hakekat). Sedangkan mahkota masjid mengandung makna ma'rifat.

Batu-batuan yang digunakan untuk membuat umpak masjid diambil dari daerah Purworejo. Batu-batu berjenis yoni ini banyak digunakan sebagai bahan penyangga tiang utama (soko guru) yang memang berukuran luar biasa. Saat pengerjaan masjid, Cokronagoro kerap melakukan laku tirakat sesuai kebiasaan hidupnya. Tidak jarang ia tidur disekitar soko guru dalam rangka bertirakat membersihkan rohaninya.

Suatu malam ia bermimpi didatangi Rara Rengganis atau Nyai Bagelen. Wanita berparas cantik itu menjelaskan kalau dirinya berada di dalam batu-batu yang akan dijadikan umpak (soko guru) masjid. Akibat peristiwa itu, batu-batu yang dipercaya berisi sukma Nyai Bagelen langsung dikembalikan ke Desa Bagelen. Setelah dilakukan upacara pemakaman, batu tersebut ditanam di dekat sumur yang sekarang dikenal sebagai makam atau petilasan Nyai Bagelen.

Kondisi Masjid Darul Muttaqin saat ini masih terawat baik. Atap bangunan induk sudah menggunakan genteng cetak yang di atasnya diletakkan mustaka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan daun kandhaka hutan. Di setiap bagian bawah atap tumpang terdapat panil kaca es yang berfungsi sebagai sumber cahaya. Atapnya ditopang oleh empat soko guru dan 12 soko rowo persegi yang dihubungkan dengan balok gantung rangkap.

Seluruh soko guru dicat hijau dan diberi hiasan geometris lis warna kuning yang terletak di atas yoni tanpa cat yang menjadi umpaknya. Keempat yoni itu mempunyai ukuran berbeda. Soko rowo terbuat dari batu bata dan bagian bawahnya kini dilapisi dengan keramik hijau. Di luar terdapat beberapa panil kayu, sementara di sebelah dalam diberi panil kaca. Plafon seng di atasnya ditempelkan dengan kuat pada kayu panjang yang tulang rusuk bangunan.
Di ruang paling depan masjid ditempatkan maqsura (mimbar tempat imam berkotbah) berbahan kayu yang posisinya berada di sebelah kanan mihrab (ruang kecil tempat imam memimpin sholat). Di sudut barat daya ruangan utama terdapat bangunan unik berbentuk empat persegi, terbuat dari kayu dan beratap mirop. Ruangan itu merupakan tempat khusus Cokronagoro ketika melakukan sholat Jumat.
Di sisi depan ruang masjid terdapat tiga buah pintu kupu tarung berpanil kayu dan kaca. Di atas pintu terdapat inskripsi Belanda, Jawa dan Arab yang menyebutkan tahun 1762 H (1834 M). Di sebelah utara dan selatan masjid terdapat bangunan tempat wudhu dan kolam. Di sebelah utara menjadi tempat wudhu kaum pria, sementara kaum wanita terletak di sebelah selatan.

Di dalam masjid ditempatkan beduk raksasa yang disebut Beduk Kiai Pendhowo. Beduk ini dibuat dari pangkal batang pohon jati pendhowo yang tumbuh di Dukuh Pendhowo, Desa Brogolan (sekarang masuk wilayah Kecamatan Purwodadi), kira-kira berjarak 9 kilometer dari arah selatan kota Purworejo.
Sebagai keturunan Desa Bragolan, Cokronagoro mengetahui dengan pasti bahwa di desa tempat kelahiran ayahnya (Raden Ngabei Singawijaya) itu terdapat pohon jati raksasa yang telah berusia ratusan tahun. Pangkal batang pohon jati pendhowo yang berketinggian puluhan meter ini memiliki garis tengah lebih dua meter.

Proses pembuatan beduk raksasa ini membutuhkan waktu 7 bulan yang dibuat pada tahun 1834. Sepanjang 3 bulan pertama, setelah batang kayu dikupas, bagian dalam pangkal kayu dibakar dengan arang kayu asam. Kehati-hatian yang tinggi sangat diperlukan dalam proses pembakaran karena jika tidak seluruh batang kayu itu akan habis terbakar. Penggunaan arang kayu asam ini juga merupakan metode khusus karena hanya arang tersebut yang mampu menembus batang kayu jati tua.

Setelah berlubang, batang kayu ditatah untuk dirapikan. Pengerjaan ini membutuhkan waktu selama dua bulan. Pada dua bulan berikutnya, pengerjaan merapikan beduk dilakukan sampai benar-benar sempurna. Seluruh proses pengerjaan beduk tersebut diawasi langsung Wedono Jenar, adik bungsu Cokronagoro, yakni RNg Prawironagoro.

Setelah selesai, Beduk Pendhowo yang memiliki panjang 292 sentimeter, diameter depan 194 sentimeter dan diameter belakang 180 sentimeter memiliki masalah baru. Ukuran yang besar membuatnya sulit untuk ditempatkan di masjid raya. Karena itu Cokronagoro segera membuat sayembara. Isinya akan memberikan hadiah kepada siapa pun yang mampu menempatkan Beduk Kiai Pendhowo sampai ke dalam Masjid Agung.

Syahdan hanya Kiai Irsyad dari Desa Solotiang, Loano yang menyatakan kesanggupannya. Sepanjang 9 kilometer perjalanan ia mendirikan 20 pos peristirahatan yang ditempatkan pada setiap jarak 500 meter. Di setiap pos peristirahatan, Kiai Irsyad menyiapkan seperangkat gamelan, sehingga setiap sampai di pos, para pekerja pengangkat beduk langsung dijamu dengan meriah.

Perjalanan mengangkut Beduk Pendhowo memakan waktu 21 hari. Cara mengangkat dan menarik beduk dari tempat pembuatan sampai ke Masjid Agung Purworejo dilakukan dengan menggunakan selendang. Di atas beduk dinaiki seorang penari wanita atau teledhek. Selain tari tayub, jamuan yang diberikan para pekerja pengangkut beduk sampai di setiap pos adalah minuman tuak.

Saat dibuat, kulit beduk menggunakan kulit banteng dari Desa Sucen yang dibawa oleh Glondhong Sucen, Jayeng Kewuh. Supaya tetap awet, kini beduk itu hanya diijinkan untuk ditabuh pada setiap Jumat. Sampai kini Beduk Pendhowo tetap merupakan beduk terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Jika diameternya menjadi kalah besar 8 sentimeter dengan beduk Masjid Istiqlal (Jakarta) namun Beduk Pendhowo dibuat dari batang kayu jati utuh. Sedangkan beduk Masjid Istiqlal yang memiliki garis tengah 2 meter itu dibuat dari kayu sambungan.
Kini sangat jelas, semangat dan kiprah Cokronagoro yang mengutamakan pendirian masjid di masa kepemimpinannya, menunjukkan bahwa ia sangat ingin memuliakan Islam. Sebagai refleksi rumah Allah SWT yang kemudian menjadi sarana ibadah dan sosial umat Islam, sebagai Muslim sejati ia bertekad akan memuliakan sang Maha Agung dengan membuat masjid (dan beduk) yang agung (besar) pula. Catatan sejarah ini menyimpulkan bahwa di dalam hati dan sanubari Cokronagoro, sesungguhnya terpatri jiwa dan semangat sebagai seorang sunan, kiai atau ulama besar.

Bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Purworejo, dibangun pula alun-alun di atas lahan seluas 6 hektar. Pada tahun 1831, di tengah alun-alun ditanam dua batang pohon beringin yang bibitnya berasal dari Keraton Yogyakarta. Setelah itu, di sebelah selatan alun-alun, didirikan Kantor Residen Bagelen. Akses jalan di seputar alun-alun juga dibangun untuk menghubungkan pendopo kabupaten, kantor karesidenan Bagelen dan Masjid Agung. Sambil menata bangunan yang menjadi pusat pemerintahan di alun-alun kota, Cokronagoro membangun akses jalan di dalam kota Purworejo termasuk perbaikan jalan sampai ke Kedhung Kebo.

Alun-alun Purworejo merupakan tempat terbuka kabupaten yang terluas dan terlama di Jawa Tengah. Keberadaan alun-alun itu merupakan simbol otrokasi Jawa Kuno yang selalu berdiri berhadapan dengan keraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Alun-alun diyakini sebagai simbol kejayaan sebuah negara, sebuah kerajaan, sebuah kadipaten atau sebuah kabupaten.

Demikian berat pekerjaan yang diemban RAA Cokronagoro I mengingat sebagai Bupati Purworejo pertama ia harus menciptakan daerah baru menjadi sebuah pusat pemerintahan. Namun demikian, prioritas utama kebijakan pembangunannya lebih mengutamakan pendirian masjid sebagai sentral kegiatan pemerintahan.

Juga dalam membangun tempat kediaman. Pada saat proses pembangunan Masjid Darul Muttaqin berlangsung, Cokronagoro masih rela bertempat tinggal di rumah pendopo lama. Rumah itu adalah rumah Ketemenggungan Tanggung (Brengkelan) yang terletak di sebelah timur sungai Bogowonto. Pembangunan rumah pendopo kabupaten baru terlaksana setelah kegiatan pembangunan Masjid Raya Purworejo selesai. Itupun dengan menggunakan sisa-sisa kayu (balok) yang banyak tertumpuk. Karena itu, bangunan pendopo baru di sebelah utara alun-alun Purworejo mulai dibangun pada 1840.

Di dalam pendopo kabupaten terdapat bangunan induk yang menjadi rumah dinas atau tempat tinggal bupati. Bangunan ini dihubungkan dengan selasar dan atap pelananya ditutup dengan genteng yang ditopang oleh empat buah kolom kayu persegi. Bangunan induk ini berbentuk persegi empat dengan atap limasan majemuk.

Arah bangunan induk yang dibatasi dinding semen ini bertujuan filosofis yang sangat dalam. Arah utara-selatan berarti posisi bangunan yang menghadap ke selatan tidak membelakangi Nyi Roro Kidul. Sebagai penguasa Laut Selatan, Laut Kidul dipercaya suku jawa sebagai tempat kediaman Nyai Roro Kidul. Posisi ini juga bermakna luas, agar tidak membelakangi posisi Keraton Surakarta yang berada di sebelah timur.

Meski pembangunan sedang giat berlangsung, Cokronagoro masih bersemangat menambah proyek pembangunan saluran irigasi dari aliran Sungai Bogowonto. Niat itu muncul karena melihat petani di daerahnya sangat kesulitan air. Saluran air dari Geger Menjangan sampai Purworejo itu dikenal sebagai Kedhung Putri dan mampu mengairi sawah seluas 3.800 hektar.

Semula ide pembangunan saluran irigasi sempat disampaikan kepada Residen Bagelen, JWH Smissaert. Tapi Residen Bagelen menyarankan jika saluran irigasi sudah terbangun, hendaknya pajak sawah dinaikkan dan para petani diwajibkan menanam kopi. JWH Smissaert juga menyarankan agar proyek pembangunan irigasi tersebut jangan dipaksakan.

Setelah merasa memperoleh restu residen, Cokronagoro memerintahkan para priyayi untuk menggali tanah sepanjang tepi gunung dari Desa Panungkulan sampai ke Gunung Geger Menjangan dan langsung masuk Purworejo. Perintah itu sangat didukung semua priyayi dan mulai dikerjakan pada 3 Mei 1831 yang pelaksanaannya diserahkan kepada empat Wedono secara padat karya.

Setiap hari dikerahkan 5.000 tenaga kerja dengan upah setiap orang sebesar satu kati (setara dengan 6,25 ons). Walaupun proyek saluran irigasi itu dikerjakan oleh ribuan pekerja, pengerjaannya tetap memakan waktu satu tahun. Namun untuk membuat air sampai bisa mengalir ke Purworejo tetap diperlukan tambahan waktu sampai satu setengah tahun.

Pada sisi kiri dan kanan saluran irigasi dibangun tanggul selebar 2 meter. Tanggul yang ditanami rumput itu dibuat untuk menahan luapan banjir. Pada setiap dua kilometer dibuat bendungan pembagi air, sehingga sawah yang dilewati aliran irigasi bisa mendapat jatah air dengan baik.

Sebagai pengawas irigasi ditempatkan Jagatirta yang bertugas mengawasi aliran air dan membagi aliran air di setiap bendungan agar merata. Sementara untuk merawat tanggul diserahkan kepada Kuli Anjir. Jagatirta dan Kuli Anjir menerima jatah sawah garapan (tanah bengkok atau siti lenggah) langsung dari Bupati.

Setelah menyelesaikan mega proyek pembangunan masjid raya, alun-alun, pendopo kabupaten dan saluran irigasi, Cokronagoro melanjutkan kebijakan pembangunan di bidang infrastruktur jalan raya. Pembangunan jalan Purworejo-Magelang sepanjang 40 kilometer yang dimulai tahun 1845 mampu diselesaikan sampai tahun 1850.

Semula jalan Purworejo-Magelang yang akan dibangun melintasi Kaligesing dan Borobudur lalu baru masuk ke Magelang. Pilihan lintasan sebelah timur Sungai Bogowonto itu dibuat karena terlihat jauh lebih hidup ketimbang melalui arah utara melewati lintasan Geger Menjangan.

Namun lintasan Kaligesing-Borobudur membutuhkan sebuah jembatan karena harus melompati Sungai Bogowonto. Ditambah situasi di kawasan Borobudur banyak memiliki jurang terjal dan tanjakan, membuat pilihan jalur di lintasan ini perlu dikaji ulang.


Namun jalur Geger Menjangan juga banyak memiliki masalah. Kawasan bukit yang mendaki tajam, sementara sarana transportasi saat itu hanya berupa dokar atau pedati, dikhawatirkan justru menjadi lebih sulit untuk diakses. Namun lintasan Kaligesing-Borobudur masih menyimpan misteri yang mendalam. Sisa-sisa pasukan Diponegoro yang masih dendam kepada Belanda, diperkirakan akan menjadi pengacau yang mengganggu keamanan lintasan itu. Karena itu, lintasan Geger Menjangan menjadi pilihan terakhir Cokronagoro meski dengan berat hati.

Sebagai peringatan proyek pembangunan jalan raya Purworejo-Magelang didirikan sebuah tugu di Desa Bener Krajan, Kecamatan Bener, Purworejo. Tugu yang berdiri di atas tanah seluas 36 meter persegi itu berbentuk oblish persegi, yakni tubuh tugu mengerucut dengan bagian atas lebih mengecil.

Dengan konsep dan kebijakan pembangunan yang luar biasa itu, jelas saja wilayah Purworejo menjadi maju, subur dan makmur. Hanya perlu waktu pemerintahan 9 tahun, Cokronagoro telah menciptakan wilayah pemerintahannya menjadi daerah yang sangat berbeda dengan wilayah lain. Hasil bumi yang melimpah dan harganya jauh lebih murah membuat kehidupan rakyat Purworejo terlihat makmur.

Pada masa itu, Cokronagoro menerima penghargaan dari mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch berupa bedil pengantin yang dikirim langsung dari negeri Belanda. Bahkan dari cucu Ratu Belanda, Cokronagoro juga menerima hadiah berupa pistol sebagai simbol rasa sayang kerajaan Belanda karena keberhasilan kinerja pemerintahannya dalam memakmurkan rakyat.

Sebagai bukti kesuksesan kepemimpinannya, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan mendudukkan keturunan Cokronagoro sebagai Bupati Purworejo sampai tujuh turunan. Namun janji itu hanya dibuktikan hingga ke derajat keturunan yang keempat. RAA Cokronagoro IV dianggap terlalu berani dengan pemerintah kolonial, bahkan sampai mengawini wanita Eropa.

Sejak RAA Cokronagoro IV diberhentikan dengan hormat pada tahun 1921, Belanda menutup kesempatan tiga derajat turunan Cokronagoro berikutnya sebagai Bupati Purworejo. Turunan Cokronagoro yang sempat menjadi bupati hanyalah:
  1. Periode 1856-1896: RAA Cokronagoro II (putera kedua Cokronagoro);
  2. Periode 1896-1907: RAA Cokronagoro III (cucu Cokronagoro);
  3. Periode 1907-1919: RAA Cokronagoro IV (buyut Cokronagoro). FitriWeningtyas&GitaIndrawanti

Menelusuri Jejak Asal Wiralodra, Betulkah dari Bagelen? , (6)


Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri (pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni.


Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber-bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri.



Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”.


Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.



Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.


Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

(1) di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);

(2) Di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi Bagelen dan mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

(3) Di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya;

(4) Ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga = 52 buah, Yoni = 13, stupa/Budhis = 2, Megalith = 22, Guci = 4, Arca = 38, Lumpang = 24, Candi Batu atau berkasnya = 8, Umpak Batu = 16, Prasasti = 3, Batu Bata = 8, temuan lain = 17, dan Umpak Masjid = 20.


Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram.


Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.


Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: ada sebuah pulau bernama Yawadwipa negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. Raja pertamanya : Raja Sanna. Setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna Raja Gunung, Tuan yang Datang dari Gunung. Atau, Tuan yang Datang dari Kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.


Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (Cerita Parahiyangan).



Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906).


Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab Cerita Parahiyangan dan Babad Tanah Jawi. Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka i Medang i bhumi Mataram i bermakna Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.


Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya. Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah.

Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.


Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya?


Untuk menutup keuangan akibat perang di Eropa maupun Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang menyebabkan devisit anggaran sebesar 20 juta gulden, kemudian dilaksanakan suatu kebijakan yang disebut “cultuure stelsel” atau “politik tanam paksa” yang disertai pajak tanah “landrent”. Sebagai daerah yang subur tanah Bagelen dijadikan sebagai salah satu basis perkebunan pelaksanaan sistem tanam paksa. Berbagai tanaman komoditi yang laku di pasaran Eropa di haruskan ditanam oleh para petani di tanah Bagelen, jenis tanaman yang diharuskan antara lain; kopi, teh, tembakau, indigo (nila/tom), dan kayu manis serta tebu. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan dan petani masih dikenalkan pajak penjualan 2/3 dari hasil panen kopi.


Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch diharapkan akan memberikan keuntungan besar dari daerah-daerah jajahan di seluruh pulau Jawa. Untuk itu Van den Bosch mengeluarkan perintah yang berlaku untuk seluruh penduduk pribumi.Semenjak diterapkan tanam paksa di wilayah Bagelen, daerah subur yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu daerah kantong padi dengan cepat berubah menjadi daerah pusat komoditi tanaman ekspor. Penanaman nila di Bagelen sangat memberatkan penduduk, sebab para petani harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk bekerja.


Di tahun 1849/1850 seperti yang dikutip oleh Bram Peper dari Geschiedenis van het Cultuursteldsel mengungkapkan bahwa di Bagelen kehilangan 95.000 jiwa. Tahun 1889 Resien Bagelen menyebutkan adanya imigrasi “kuli jawa” ke pantai timur Sumatera, yang berasal dari afdeling Purworejo dan Kutoarjo.

Tanah Bagelen sebagai salah satu kawasan perkebunan penghasil komoditi eksport antara lain; kopi, teh, kayu manis dan nila (indigo). Kayumanis pada tahun 1842 di Bagelen sebanyak 2.821,5 pon. Pelaksanaan penanaman kayu manis terhadap penduduk yang tidak memiliki lahan mereka mendapat upah sekitar f 4,20 sampai f 5/ bulan, sedangkan mandor mendapat upah sebesar f 8,40. Pada tahun 1855 di Ambal dan Purworejo terdapat 284 KK penggarap pada 16 perkebunan dengan 787.788 batang tanaman dengan hasil lebih dari 29.000 pon. Bagelen merupakan daerah penghasil indigo terbaik di pulau jawa.


Tahun 1857 areal perkebunannya seluas 8,435,625 bau dengan hasil 305.934 per bau 36,26 pon Amsterdam. Harga per pon Amsterdam f 1,89 total f 458,901. Indigo dari Bagelen di eksport ke Belanda, Perancis, Inggris, Amerika, Denmark dan Swedia. Tanaman teh terdapat di distrik Wonosobo, menurut data 1856 dari Kultur Verslag Residen Bagelen tanaman ini terdapat di daerah Reco, Kledung, Purwosari, Tegalsari, Kadu Pareng, Bedakah dan Jero. Di distrik Kalialam di lokasi Menjer, Tamparan, Kreo, Serang, Gembaga, Telogo dan Tambi. Untuk distrik Sapuran terdapat di desa Tanjungsari, Semilir, Sunter dan Sundi. Jumlah tanaman tersebut di tiga distrik 4.885.000 batang seluas 740 bau.


Penanaman kopi secara besar-besaran dimulai tahun 1834 di Purworejo dan Ledok. Hasil kopi selama 5 tahun 1854-1858 meliputi 258.233,24 pikul atau setiap tahun sedikitnya menghasilkan kopi 29.924,56 pikul paling rendah dan tertinggi 63.843,47 pikul dengan melibatkan 153.894 keluarga sebagai tenaga kerja. Menurut James R Rush, hingga tahun 1861 sistem tanam paksa di Pulau Jawa sudah menghasilkan kekayaan yang mampu untuk membayar hutang perang Belanda bahkan lebih sehingga digunakan untuk membiayai pembangunan rel-rel kereta api.


Perdagangan Opium di Tanah Bagelen


Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai wujud politik ekonomi kolonial mendapat perlawanan sengit didaerah Bagelen. Sementara di sisi lain sebagai kawasan baru yang masuk dalam kekuasaan Belanda, kemudian muncul perdagangan opium. Opium merupakan komoditi monopoli Pemerintah Kolonial Belanda, yang sudah ada sejak abad ke-17 pada zaman VOC. Pada saat itu opium sudah menjadi komoditi penting di tanah Jawa sebab ada di bawah berbagai perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi.


Perdagangan opium Belanda di Jawa ada sesudah perjanjian 1677, menurut perhitungan J.C Baud yang dikutip James R Rush dari tahun 1619-1799 setiap tahun resminya, VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke pulau Jawa, namun jumlah opium ilegal yang diselundupkan diduga jauh lebih besar.


Menurut Peter Carey tahun 1820 di sekitar Yogyakarta terdapat 372 tempat terpisah yang mempunyai lisensi untuk menjual opium. Sedangkan untuk memperoleh dana yang besar Belanda bekerjasama dengan kelompok elite tertentu memberi hak monopoli untuk memproduksi dan memperdagangkan opium pada tempat-tempat tertentu. Para bandar opium telah memanfaatkan adanya perkembangan penduduk pedesaan yang menyebar di perkotaan dan tinggal di dekat obyek ekonomi seperti pabrik, jalan kereta api dan perkebunan. Mereka datang sebagai kaum urban akibat dari transformasi ekonomi kolonial di Bagelen, Banyumas, Madiun dan Kediri sebagai daerah baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.


Penjualan opium ilegal yang marak dinilai sebagai bagian dari kebijakanan konvensional pegawai kolonial Belanda. Residen Bagelen Christian Castens yang bertugas 1863-1864 ketika melakukan inspeksi mendadak pada gudang lokal bandar opium di tanah Bagelen, ternyata menemukan jumlah opium tiga kali lipat. Pejabat setempat menyatakan bahwa opium tersebut legal, namun tidak dapat menunjukkan barang bukti. Sedangkan komisi penyelidik yang ditugaskan, menurut Castens telah disuap oleh bandar opium sebesar 10.000 gulden. Sehingga kelebihan opium tersebut dapat diselundupkan ke Banyumas.



Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo


Purworejo atau yang dikenal dahulu sebagai Bagelen berdiri sejak 5 Oktober 901 Masehi. Bagelen dahulu merupakan mancanegara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keduanya saling berkaitan dalam sejarah Babad Diponegoro dan babad Nagari Purworejo, Babad Tanah Jawa dan Kitab Negara Kertagama. Menurut Penemuan Prasasti, Sejarah berdirinya Purworejo, berdasarkan adanya Prasasti “ Kayu Ara Hiwang” atau dikenal sebagai Parasasti “Boro Tengah” Yaitu prasasti tentang peresmian Tanah Perdikan (sima), Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di bawah pohon / tanaman Kayu Sono di dukuh Boro Tengah, tepi sungai Bogowonto atau sungai Watukura, sekarang masuk wilayah kecamatan Banyuurip.

Prasasti batu Andesit yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno/lama sebanyak 21 baris. Sejak tahun 1890 prasasti ini telah dipindahkan dan disimpan di Museum Nasional Jakarta Jl Merdeka Barat, dengan inventaris No 78. Prasasti Kayu Ara Hiwang menyebutkan tahun Saka 823, bulan Asuji, hari kelima bulan Paro Petang, Vurukung Senin (wuku) Margasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi. Saat itu Raka dari Vanua Poh, Dyah Sala (Mala), putra dari Sang Ratu Bajra yang tinggal di Parivutan, telah menandai Desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang, menjadi tanah perdikan. Daerah tersebut dibebaskan dari segala pajak, kesemuanya itu untuk memelihara tempat suci Parahyangan. Selain itu, pangeran dari Parivutan mensucikan kejelekan.


Dalam Parasasti tersebut diungkapkan bahwa pembebasan Kayu Ara Hiwang dari kewajiban membayar pajak dan menjadi tanah perdikan , meliputi segala yang dimiliki desa , meliputi : katika, guha, katagan, gaga. Juga disebutkan, Rakaryan dari Vatu Tihang, Pu Sanggrama Surandhara, penduduk Gulak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada voring sebanyak satu swarna. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan para pejabat dari berbagai tempat antara lain dari Paranggang, Padamuan, Mantyasih, Medang, Pupur, Taji, Watu Tihang Kasugihan, Pakambingan, Varu Ranu, Lampuran, Watu Hyang, Alas Galu, Pakalangkyang, Pagar Vsi, Sru Ayun, Sumumilak, dan Kalungan.


Para Pejabat yang hadir tersebut menerima Pasek-pasek berupa pakaian berwarna dan emas seberat satu swarga, satu masa enam masa dan dua belas masa, atau perak satu kati atau satu karsa dua masa.


Sedangkan sampai detik ini tempat-tempat yang disebutkan dalam parasasti tersebut diantara masih ada dan masih bisa dikenali, antara lain :
Mentyasih = Magelang,
Vatu Tihang = S(e)olo Tiang (daerah Loano),
Taji = Prambanan,
Kalughan = Kalongan Loano
dan sebagainya.


Dilihat dari tahun dikeluarkannya prasasti tersebut, dipastikan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa kekuasaan, Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, seorang maharaja terbesar pada masa Mataram Kuno. Dan mempunyai wilayah kekuasaan dari Jawa Tengah, Jawa Timur sampai ke Bali. Dyah Balitung dikenal sebagai Pangeran yang memiliki wilayah Palungguhan di lembah sungai Watukura, sungai besar yang mengalir dari Gunung Sumbing sampai kelautan Hindia, pantai selatan Jawa Tengah.


Menurut Van Der Meulen SJ, pendiri Fakultas Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, wilayah Bagelen berbentuk segitiga, tempat yang sekarang dikenal bernama Ledok, merupakan pojok paling utara dari Bagelen. Basisnya Pantai Selatan, puncaknya Gurung perahu (Dieng) Sungai yang terutama adalah Bogowonto atau Watukura. Van der Muelen bahkan berpendapat, apa yang dinamakan Holing dalam Tiongkok Kuno seharusnya dibaca Halin, yakni singkatan dari Baghahalin (bagelen), kerajaan yang berlokasi di lembah sungai Bogowonto atau sungai Watukura. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam Babad Tanah Jawi, kerajaan yang semula diperintah Khulun.


Pendapat Van der Meulen tersebut yang menggali isi Kitab Cerita Parahyangan dan Babad Tanah Jawi tersebut, menurut Dr N. Daljoeni merupakan sumbangan yang telah mengobori pronto sejarah yang gelap abad ke-5 sampai dengan abad ke-7. Sekalipun dalam prassti Kayu Ara Hiwang secara implisit disebutkan nama Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura, namun dalam prasasti tersebut disebutkan, nama “Sang Ratu Bajra”. Tokoh ini diduga keras adalah adalah, Rakryan Mahamantri / Maha Patih Hino, Sri Daksottama Bahunbajra Pratipaksaya atau Daksa orang kedua setelah Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Jadi sebutan “Sang Ratu“ layak diberikan kepadanya karena dalam sejarah perkembangan berikutnya, Daksa adik ipar Balitung naik tahta menjadi raja menggantikan Balitung.


Di sisi lain dalam prasasti “Sipater” parasasti batu yang ditemukan di wuwungan (bagaian dalam atap yg tertinggi) Masjid Jenar Kidul tahun 1981 tidak jauh dari lokasi Boro Tengah mengungkapkan pembuatan sebuah “dawuhan” atau tanggul / dam untuk mengairi persawahan. Dalam prasasti tersebut disebutkan nama seorang Samgat dari Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah (anak wanua) Pariwutan dalam wilayah (watek) Ghaluh. Selain itu dalam prasasti “ Tulanana’” tahun 823 Saka.


Dyah Balitung Watukura juga disebut sebagai Rakai Galuh, penguasa daerah Galuh. Dengan demikian pendapat Profesor Purbatjaraka, bahwa Dyah Balitung Watukura adalah seorang Pangeran berasal dari Kedu Selatan atau Bagelen adalah benar.


Menurut Prof. Purbatjaraka, nama “Pagelen” atau “Bagelen” itu berasal dari kata “Pagalihan” yaitu daerah yang masuk wilayah Galuh.. Kata “Galih” menurut menurut pendapatnya adalah bentuk karama dari kata Galuh. Contohnya kata Pangguh = Panggih, Lungguh=Linggih, Rungkuh=Ringkih. Dengan demikian, Pegaluhan, Pegalihan, Pagelen, dan Bagelen memang merupakan wilayah kekuasaan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura yang ditandai dengan sebuah aliran Sungai Besar, Sungai Watukura yang kemudian dikenal dengan nama sungai Bogowonto, karena dikedua tepinya banyak Begawan berada. Dalam sejarah berikutnya, daerah Watukura masih dikenang. Ini terbukti dalam naskah Negara Kertagama, Raja Hayam Wuruk masih menyebut nama tersebut.


Sedangkan dalam masa kerajaan Demak, Bagelen merupakan suatu propinsi yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Para Kenthol Bagelen memegang peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Mataram Islam. Sutawijaya yang kemudian bergelar Sebagai Panembahan Senapati telah mengingat persaudaran dengan para Kenthol Bagelen. Para Kenthol itu pula merupakan pasukan andalan dalam menumpas pemberontaka-pemberontakan maupun dalam operasi operasi militer, termasuk dalam pertempuran melawan VOC di Batavia.

Kesatuan dan kesetiaan orang-orang Bagelen mulai digoyah, tatkala di Kerajaan Mataram timbul pertikaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti , 13 Februari 1755, atas prakarsa VOC Belanda, wilayah Bagelen (Purworejo) dibagi dalam dua bagian sebagian masuk wilayah Surakarta dan sebagian lagi masuk wilayah Yogyakarta. Namun pembagian tersebut tidak jelas batas-batasnya?. Tumpang puruk, campur baur seperti rujak hingga abad ke-19 ketika pecah perang Diponegoro.



Pembangunan Jalan di Purworejo Masa Belanda



Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang tanggal 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, banyak gangguan yang terjadi diwilayah sekitar kawasan wilayah Purworejo, terutama di perbatasan Magelang. Peristiwa ini dianggap membahayakan pemulihan ekonomi maupun keamanan Pemerintahan Hindia Belanda, maka akhirnya dibangun jalan yang hingga kini masih bisa digunakan.


Hal ini dilakukan untuk menghindari wilayah yang menjadi basis pengikut Pangeran Diponegoro yang masih setia bergerilya. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu.


Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki. Pembangunan sarana jalan baru menurut seorang sejarah adalah akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Jalur ke arah utara ini dengan rute di luar daerah pengaruh Pangeran Diponegoro dari Loano melintasi bukit Cacaban, Bener, Kalijambe, Margoyoso, Salaman terus ke Magelang. Jalan baru alteratif ini dilaksanakan dengan wajib kerja umum oleh petani tanpa imbalan upah. Alasannya karena, jalan tersebut untuk kepentingan rakyat sendiri yang sudah sejak dahulu dipergunakan oleh para kuli angkut barang dari daerah Bagelen ke Semarang atau sebaliknya.asi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun perkebunan.


Berdasarkan prasasti tugu peringatan pembangunan jalan di kecamatan Bener, dinyatakan bahwa jalur jalan baru yang diperingati dengan tugu tersebut dibangun atas perintah penguasa Karesidenan Bagelen Jonkh J.G o.s von Schmidt Auf altenstadh dan R.de Fillietas Bousqet dibantu oleh Raden Adipati Cokronagoro, Regent (Bupati) Purworejo tahun 1845-1850. Pembangunan jalan raya baru disisi lain dilaksanakan selama 3 tahun, dari tahun 1848-1850 dengan mengerahkan petani pada waktu luang dan dibiayai sebesar f 4.000 untuk pembelian peralatan dan dana untuk kenduri atau selamatan.


Dengan adanya jalan baru ini, maka lalu lintas jalan raya dan angkutan barang dialihkan, yang semula lewat jalan tradisional dilewatkan jalan baru yang dianggap lebih aman dari gangguan kraman (pemberontak). Sedangkan jalan tradisional yang ada sengaja dibiarkan terbengkalai dan tersisihkan. Selain itu untuk wilayah barat Purworejo dibangun jalan tepatnya melalui Kedungkebo hingga Gombong dan diteruskan ke Cilacap. Jalan baru tersebut sangat penting bagi mobilitas militer dalam mengamankan politik pemerintah dan memperlancar angkutan komoditi ekspor yang akan diangkut kapal melalui pelabuhan Cilacap, pelabuhan Semarang untuk di ekspor ke pasar Eropa.


Tahun 1830 Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan nama Perang Diponegoro telah usai sebab Pangeran Diponegoro telah ditangkap di Magelang 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, namun para pengikutnya masih melakukan perlawanan, dengan dukungan para petani yang merasa tertindas dengan diberlakukannya sistem tanam paksa. Salah satu daerah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah daerah selatan tanah Bagelen.


Sementara di Kutoarjo tahun 1847 muncul pemberontakan yang disusul tahun-tahun berikutnya akibat pemaksaan tanaman indigo (nila). Perlawanan terhadap kolonialisme dan sistem ekonomi liberal tersebut dilakukan secara gerilya yang dinamakan “kraman”, Kraman adalah suatu perang gerilya dengan melakukan penyerangan terhadap kereta gerobak yang melintasi jalan dan kemudian setelah berhasil para penyerang menghilang. Selanjutnya perlawanan tersebut oleh Belanda di sebut “brandal atau “gerombiolan kecu”. Perlawanan tersebut berlanjut kadang-kadang dilakukan secara perseorangan sehingga kemudian sikap perlawanan tersebut merupakan salah satu tolak ukur keberanian laki-laki.



Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (5)

Menurut ceritera rakyat nama Bagelen itu sudah ada sejak jaman dahulu, yaitu negeri Medangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen yang memerintah negeri itu ialah Sri Prabu Kandiawan yang berputera lima orang yang masing-masing memerintah Negara Bagian.
Putra sulung bernama Sri Panuwun, ahli dalam pengairan, pertanian dan pemerintahan dan memerintah Negara bagian Medang Gele, yang akhirnya bernama Pagelen.
Putra yang kedua bernama Si Sendang Garbo, ahli perdagangan dan memerintah didaerah Jepara. Putra yang ketiga berkedudukan di Prambanan bernama Karungkala. Yang keempat bernama Sri Petung Laras atau tunggul Ametung memerintah di Kediri. Dan yang bungsu bernama Sri Djetayu, memerintah di Kahuripan. Kerajaan Medangkamulan adalah negeri yang aman, tentram dan makmur. Karena rajanya berlaku adil dan jujur. Sri Prabu Kadiawan meninggal dalam tahun yang ditandai dengan suryasengkala “RUPA TRI MUKSENG LEBU“ yang berarti kurang lebih 1031 yang kemudian yang menggantikan ialah putranya yang sulung, Sri Panuwun.
Prabu Panuwun mempunyai dua orang anak, tetapi semuanya cacat. Maka sang Prabu bersedih yang selanjutnya bersemedi untuk mohon petunjuk Dewata. Akhirnya diperoleh suatu petunjuk gaib, bahwa ia harus pergi kesuatu sendang di Somolangu. Di daerah tersebut Sang Prabu Panuwun memperistri anak perempuan Kyai Somolangu. Dari perkawinannya itu kemudian dianugrahi seorang anak perempuan yang diberi nama “Raden Rara Wetan” Yang kelak terkenal dengan nama “ NYAI BAGELEN “ dan menjadi pewaris daerah Bagelen.
Setelah dewasa Rara Wetan menjadi isteri Pangeran Awu Awu Langit yang berkedudukan di daerah Ngombol.
Karena Sri Panuwun berpindah kedudukan di Hargopura (Hargorojo), maka Pangeran Awu Awu Langit menggantikan kedudukannya di Bagelen .
Pengairan di daerah tersebut maju sehingga pertanian-pun maju dengan pesat. Hasil pertanian yang utama ialah padi ketan wulung dan kedele. Dan Nyai Bagelen bersama suaminya disamping sebagai petani maju juga beraktifitas sebagai penenun.
Perkawinannya dengan Pangeran Awu Awu Langit Nyai Bagelen dikaruniai tiga orang anak. Yang sulung bernama Raden Bagus Gento, dan yang kedua dan ketiga masing-masing perempuan yang bernama Raden Rara Taker dan Raden Rara Pitrah.
Pada suatu hari Selasa Wage, ketika Nyai Bagelen sedang menenun dan anak-anaknya asyik bermain-main tidak jauh dari ia bekerja , tiba-tiba Nyi Bagelen alangkah terkejut karena bukan putranya yang sedang menyusu, melainkan seekor anak lembu. Kemudian dicarilah kedua anak perempuannya dan ditanyakan kepada suaminya yang sedang asyik memilihi bibit ketan wulung. Karena jawaban dari suaminya kurang mengenakkan, maka dengan alat tenunnya didorongnya lumbung padi dan kedele sehingga isinya berhamburan. Lumbung padi itu terlempar jauh dan tersangkut di pohon beringin di desa Krendetan dan yang sebuah lagi jatuh di desa Penatak (Somorejo).
Padi dan kedele berhamburan jatuh di desa Ketesan dan Wingko-tinumpuk. Namun bukan main terkejutnya Nyai Bagelen ketika dilihat kedua anak perempuannya terbaring pada bekas lumbung dalam keadaan telah meninggal.
Terjadilah pertengkaran antar suami istri. Dan suaminya Pangeran Awu Awu langit memutuskan pulang ke daerah asalnya dan kemudian meninggal di desa Awu-Awu. Ketika mendengar berita suaminya meninggal, maka Nyai Bagelen berpesan kepada anaknya sulung Raden Bagus Gento; semua anak cucu serta keturunanku dilarang atau berpantang untuk berpergian atau jual beli , mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena hari pasaran itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Kecuali itu juga bagi orang-orang asli Bagelen berpantang untuk menanam kedele, memelihara lembu, memakai pakaian yang menyerupai pakaian yang dipakai Nyai Bagelen waktu datang bulan yaitu : kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bangau tulis.
Setelah menyampaikan pesan itu , Nyai Bagelen masuk ke kamarnya dan kemudian menghilang, tanpa meninggalkan bekas atau murca
Dan selanjutnya Raden Bagus Gento menggantikan kedudukannya memerintah daerah Bagelen.
Raden bagus Gento mempunyai anak yang bernama Kyai Rodjo Pandito, yang setelah meninggal dimakamkan di desa Margorejo. Kyai Rodjo Pandito mempunyai putra yang bernama Dewi Rengganis dan makamnya di desa Semono.
Komplek petilasan Nyai Bagelen terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah sembilan buah dengan masing-masing ukuran stupa yang berbeda dan dinyatakan sebagai peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.


Diolah dari sumber :
1. Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

 Sumber : http://budayapurworejo.blogspot.com

Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (4)

SEJARAH BAGELEN

sumber :http://sejatininghidup.blogspot.com

SEJARAH BAGELEN
                Tanah bagelen merupakan suatu kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, ( FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang melegenda.
                Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
                Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) teryata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha
                Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
                Peradaban Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.

Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.
Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

1. di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);
2. di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

3. di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.

4. ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).


Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.
Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:

LATAR BELAKANG MATARAM KUNO
Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.

ASAL-MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN
Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu” (lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.

 Pada jaman Mataram Hiindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau â€Å“moksa”.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.

Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (3)

Sejarah Purworejo

Sejarah Purworejo


Kabupaten Purworejo memiliki sejarah yang sangat tua, dimulai dari zaman Megalitik disinyalir telah ada kehidupan dengan komunitas pertanian yang teratur, terbukti dengan sejumlah peninggalan sejarah di masa MEGALITH berupa MENHIR Batu Tegak di sejumlah wilayah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketika zaman Hindu Klasik, kawasan Tanah Bagelen berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi : Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa.
Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. Indikasi ini tercermin pada nama “Watukoro” yang menjadi nama sebuah Sungai Besar, Sungai ini disebut juga dengan nama Sungai Bogowonto. Disebut demikian, mengingat pada masa itu di tepian sungai sering terlihat pendeta (Begawan).

Petilasan suci berupa Lingga, Yoni dan Stupa tempat para begawan melakukan upacara dapat dilihat di wilayah Kelurahan Baledono, Kecamatan Loano dan Bagelen. Desa Watukoro sendiri terdapat di muara sungai Bogowonto dan masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi.

Pengembangan Agama Islam di wilayah Purworejo, dilakukan oleh Ki Cakrajaya seorang tukang sadap nira dari Bagelen, murid dari Sunan Kalijogo. Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Peninggalan Sunan Geseng banyak terdapat di Bagelen dan Loano.
Kenthol Bagelen yang merupakan Pasukan Andalan Sutawijaya, tokoh yang kemudian naik tahta menjadi Panembahan Senopati, merupakan dasar pembentukan Kerajaan Islam Mataram. Pada periode berikutnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, pasukan dari Bagelen inilah yang memberikan andil besar dalam penyerangan ke Batavia dan termasuk pasukan inti Mataram.
Akibat dari Perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Kerajaan Jawa menjadi 2, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, tanah Bagelen-pun menerima dampaknya, dimana tanah Bagelen dibagi menjadi 2 bagian untuk Yogyakarta dan Surakarta, tapi karena tidak jelasnya batas-batas pembagian tersebut, mengakibatkan sengketa yang berkepanjangan.
Masa Perang Diponegoro meletus (1825 – 1830) tanah Bagelen menjadi basis perlawanan Pangeran Diponegoro. Melihat adanya pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, maka Jenderal De Kock meminta bantuan pasukan dari Kerajaan Surakarta.
Menghadapi ini, Belanda yang dipimpin oleh panglimanya Kolonel Cleerens membangun markas besar garnisun di Kedongkebo tepi Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen
Paska Perang Diponegoro, Tanah Bagelen dan Tanah Banyumas diminta paksa oleh Belanda. Kemudian Belanda menghadiahkan kepada Ngabehi Resodiwiryo yang berjasa membantu melawan pemberontak, menjadi Penguasa Tanggung dengan gelar Tumenggung Cakrajaya yang selanjutnya diangkat menjadi Bupati (Regent) Kabupaten Purworejo dengan Gelar Cokronegoro. Pelantikan dilakukan di Kedungkebo, markas garnisun Belanda dan yang melantik adalah Kolonel Cleerens.
Wilayah Kabupaten Purworejo ketika itu adalah seluas 263 Pal persegi atau sekitar 597 Km persegi, meliputi Kawasan Timur Sungai Jali. Sedangkan wilayah seluas 306 Km persegi di Barat Sungai Jali, merupakan wilayah Kabupaten Semawung (Kutoarjo) dan dipimpin oleh Bupati (Regent) Sawunggaling. Pada perkembangan lebih lanjut, Kedongkebo yang merupakan basis Militer Belanda digabung dengan Brengkelan dan menjadi Purworejo. Sedangkan Tanah Bagelen oleh Pemerintah Kolonial Belanda dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibu Kota Purworejo.
Wilayah Karesidenan Bagelem meliputi, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Kutowinangun, Kabupaten Remo Jatinegara (Karanganyar) dan Kabupaten Urut Sewo atau Kabupaten Ledok atau Kabupaten Wonosobo.
Residen Bagelen bertempat tinggal di Bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pemerintah Daerah Purworejo atau lebih dikenal dengan nama Kantor OTONOM yang lokasinya di bagian Selatan Alun-alun Purworejo.
sumber : http://bagelencity.blogspot.com

Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (2)

Sejarah Purworejo

 Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

(Sumber: Buku POTENSI WISATA PURWOREJO – Yayasan Arahiwang Purworejo Jakarta).
 http://www.purworejokab.go.id

Menelusuri Jejak asal Wiralodra, Benarkah dari Bagelen ? (1)

Bagelen adalah sebuah kecamatan di Kabupaten purworejo, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Sebelum Purworejo kota berdiri, Bagelen adalah pusat pemerintahan wilayah Purworejo, yang dinamakan Bagelen. Purworejo kota sendiri adalah pusat pemerintahan baru yang didirikan oleh Hindia Belanda
Bagelen dahulu disebut Pagelen. Pagelen sendiri merupakan perubahan dari Medanggele, yang berasal dari kata Medangkamulan, kerajaan yang konon pernah ada di wilayah ini.
(sumber wikipedia)

Jumat, 03 April 2015

Logo Pilkada Serempak

Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015

 Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015



 Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015


 Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015


 Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015

 Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015







Hasil gambar untuk peta pilkada serentak 2015

The and

The and