SEJARAH BAGELEN
sumber :http://sejatininghidup.blogspot.com
SEJARAH BAGELEN
Tanah bagelen merupakan suatu
kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, (
FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu
kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur
sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai
Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua
wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang
melegenda.
Wilayah
Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten
Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan
), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun
), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang
dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
Nama
Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal
dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno
Hadi S, 2007 ) teryata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan
sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat
sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha
Salah
satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo,
lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950)
seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan
Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram
Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa
Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
Peradaban
Jawa kuno menurut Supratikno Rahardjo (2001) bisa dibagi dalam dua periode
utama , pertama periode Jawa Tengah sekitar Abad 8 – 10 Masehi, periode
berikutnya periode setelah pusat pemerintahan pindah ke jawa timur. Menurut
Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu,
berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam
kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair,
pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu
falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.
Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah
yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi
administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan
(tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam
sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni,
pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti
pentingnya wilayah tersebut.
Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:
1. di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk
menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga
serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);
2. di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan
menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan
Geseng untuk berdakwah di wilayah
Bagelen;
3. di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para
kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.
4. ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni
(13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang
(24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu
Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).
Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti (
13 Februari 1755)
yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua
kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III
sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan
Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (
1825-1830),
Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali
Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang
terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen,
Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan
mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.
Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun
1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur
ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai
sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur
transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda
juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro
(Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri
Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar. Buku ringkas ini
merupakan upaya penulis untuk melakukan rekonstruksi suatu aset nasional
yang memiliki muatan lokal. Berikut penelusurannya:
LATAR BELAKANG MATARAM KUNO
Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang
terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur.
Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat
internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra.
Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua
kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut
Kerajaan Medang i Bhumi Mataram.
Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang)
memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti
saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa
di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk
Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra
merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti
Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram
lengkap dengan tahunnya.
ASAL-MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN
Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau
bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang
emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh
ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja
Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke
Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra,
yang bermakna “
Raja Gunung“, “
Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “
Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.
Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan.
Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh
India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa
Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling,
Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “
Cerita Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di
bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan
Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan
puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (
Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “
Cerita Parahiyangan” dan “
Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih,
menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah
Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang
menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka
Medang i bhumi Mataram bermakna “
Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu”
(lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan
Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan
Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.
Pada jaman Mataram Hiindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang
bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing
bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung,
Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko
Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal
dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro
Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari
putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu
(Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu
Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran
Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang
dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan,
dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya
cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah
tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang
disebut dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan
rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki
keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang
sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia
tinggal menyampirkan ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun.
Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya
tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi
menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya
yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi
tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata
yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah,
sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan
akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak
cucu beserta keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada
hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi
ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang
bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua
putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak
menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu
Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel
dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga
isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan
Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri
kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah
didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden
Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden
Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan
Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di
desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih
dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya
dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan
hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana
dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga
berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian
kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden
Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian
menghilang tanpa meninggalkan bekas atau “moksaâ€.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu
keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur,
berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.